Sang Bambu yang Rendah Hati


Imam Ali As

قَال عليه السلام : الْعَجْزُ آفَةٌ، وَالصَّبْرُ شَجَاعَ وَالْوَرَعُ جُنَّةٌ وَنِعْمَ الْقَرِينُ الرِّضَى

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah berkata: “Ketidakmampuan adalah petaka, kesabaran adalah keberanian, zuhud adalah kekayaan, pengendalian diri adalah perisai (terhadap dosa), dan sahabat terbaik adalah penyerahan –tawakkal- (kepada Allah) (Hadits Keempat Nahjul Balaghah)

Di suatu desa yang begitu sejuk dinaungi pepohonan rindang, tumbuhlah sebatang pohon mahoni yang begitu besar, menjulang tinggi seolah-olah ingin memberitahukan dunia betapa kuatnya dia. Tampak dia begitu memancarkan pesona wibawa bagi siapapun yang melihatnya. Dan tak jauh dari tempat pohon mahoni itu berada, tumbuhlah serumpun kecil bambu. Jika dilihat secara kasat mata, sungguh suatu pemandangan yang begitu kontras, bagaikan langit dan bumi. Pohon mahoni yang begitu gagah dengan ranting-ranting besar, dan bambu yang begitu ramping, dengan dahan yang melengkung ke bawah.

Walaupun berbeda, mereka selalu hidup berdampingan. Sang bambu yang rendah hati selalu menyapa pohon mahoni setiap hari, hampir setiap waktu mereka berbincang dan berbincang. Pohon mahoni selalu menyombongkan diri, betapa besar dan hebatnya dia, namun sang bambu tidak pernah jenuh mendengarkan kesombongan si pohon mahoni sambil tersenyum. Dia selalu mengomentari segala ucapan mahoni dengan pujian, dengan tulus hati.

Hingga suatu malam, hujan deras menguyur desa tersebut disertai angin yang berhembus kencang. Suara gemuruh guntur turut menambah suasana semakin mencekam. Banyak pohon bertumbangan karena tidak kuat menghadapi hembusan angin kencang. Si pohon mahoni dan bambu pun turut terkena terpaan angin kencang tersebut, mereka mencoba bertahan dan berusaha untuk tidak tumbang. Saat itu, sang pohon mahoni yang panik, berusaha menahan angin kencang tersebut dengan badannya yang besar. Namun badannya tidak cukup besar untuk menahan laju angin yang begitu kencang, dan akhirnya tumbanglah pohon mahoni tersebut.

Sang bambu yang berada di sampingnya, tak terelakkan juga harus menghadapi tiupan angin kencang. Berbeda dengan mahoni yang mencoba menahan deruan angin kencang dengan dahannya yang kokoh, bambu hanya mengikuti ke mana pun arah tiupan anginnya. Dengan fleksibelnya dia bergemulai dengan hembusan angin. Angin kencang pun berlalu, sang bambu tetap berdiri di atas tanah, di samping pohon mahoni yang tumbang akibat terpaan angin kencang.

Hikmah Para Unggas


Amazing Birds Flying

Kenapa mesti unggas? Dan pelajaran atau filsafat apa yang bisa kita dapatkan dengan merenungi dan membaca hidup mereka? Di sini, kita memang harus membuang ego antroposentrik kita yang terlampau memandang manusia sebagai pusat semesta, atau apa yang kita sebut “virus Cartesian” itu, dan karena kita hidup dalam sebuah dunia yang bukan hanya kita, manusia, yang sama-sama ada. Yah, salah-satu pelajaran atau filsafat yang dapat kita petik adalah sifat simpati, kerjasama, dan solidaritas mereka dalam hidup. Para unggas, pada dasarnya, adalah juga makhluk politis seperti kita. Dan juga, yang mungkin akan mengejutkan, pelajaran tentang formasi militer di udara.

Tak seperti elang yang cenderung menyendiri, unggas hidup berkawan. Mandi bersama, tidur bersama, dan mencari makan bersama. Bila dilihat secara sosiologis, mereka lebih mencirikan diri sebagai masyarakat kolektif, meski mereka tidak menyebut diri mereka seperti itu. Apapun istilah yang ingin dilekatkan oleh para ilmuwan atau para pengamat, yah silahkan saja, “yang penting kami selalu bersama”. Kira-kira begitulah sikap politik mereka.

Ini adalah isyarat alam yang dahsyat. Kita tidak pernah menyadari keberadaannya karena semua berlalu secara alami. Padahal unggas mengajarkan kita banyak hal tentang arti tata-tertib, kekompakan, dan pertemanan: “politik solidaritas”. Di musim dingin, mereka bermigrasi ke Selatan, dan di musim panas mereka kembali ke kediaman asalnya di Utara. Lalu lihatlah formasi yang mereka bentuk di saat terbang bermigrasi itu. Mereka membentuk formasi huruf V. Bukan tanpa alasan, karena para fisikawan mencatat bahwa tingkat resistensi terhadap angin akan lebih rendah, dalam formasi seperti itu, dibandingkan dengan terbang sendiri. Ini jauh lebih bermanfaat bagi mereka guna memacu kecepatan.

Selanjutnya, bila ada anggota yang sakit, atau sayapnya kelelahan, lalu terlempar dari formasi, maka akan ada unggas yang lain yang datang mengapit untuk tetap terbang dalam formasi huruf V kecil yang baru. Dukungan sosial ini begitu penting, dalam menjaga kekompakan dan keberlangsungan hidup, agar yang lemah bisa tetap terbang dan tidak terjatuh sendirian. Berangkat bersama, terbang bersama, hingga sampai di tujuan juga bersama-sama. Seakan begitu filosofi mereka. Terbang sendirian bukan hanya soal keamanan, tetapi juga soal efektivitas kecepatan dan kepakan sayap. Inilah solidaritas yang secara politis dalam rangka “menjaga kekuatan tanpa harus menyingkirkan yang lemah”.

Kemudian, dan ini yang terpenting, setiap unggas saling bergantian mengambil alih komando. Bila si A kelelahan, maka si B dengan spontan menggantikannya. Tidak ada ketamakan untuk terus menjadi komandan. Juga tidak ada keinginan untuk mengkudeta kekuasaan. Semua bertindak menjadi “Imam” yang baik dan makmum yang juga baik. Beginilah harusnya kerja sebuah tim dalam membawa misi kesuksesan. Di sini, saya teringat motto kebersamaan dan bagaimana komunitas akan menjadi kuat, “Laa quwwata illa bil jama’ah, wa laa jama’ah illa bil imamah.”

Sulaiman Djaya

"Lab Sulaiman Djaya"