Arsip Tag: buku

Opini Koran Kabar Banten 27 Maret 2024


Einstein, Agama, Muthahhari

Oleh: Sulaiman Djaya, penyair di Kubah Budaya

Paska abad pertengahan di Eropa, agama di benua itu dituding sebagai penyebar takhayul dan kemunduran (kejumudan) bangsa-bangsa Eropa. Itulah masa-masa renaisans dan sekulerisme Eropa menjadi gerakan politik, kebudayaan dan intelektual yang akan menggusur dominasi politik dan budaya gereja yang telah membentuk alam-pikiran dan praktik sosial-politik-budaya selama berabad-abad sebelumnya. Namun, sebagai isu metafisik dan santifik, persoalan agama dan terutama eksistensi Tuhan, tak pernah bisa berakhir.

Di tahun 1927, para ahli fisika berkumpul di sebuah ruangan yang berada dalam sebuah gedung besar. Pagi itu, di luar gedung, salju turun ragu-ragu, saat itu awal musim dingin mulai datang, pelan dan lamban, namun pasti membuat beku segala yang disentuhnya. Kebanyakan orang memilih berlindung di balik selimut, cuaca awal musim selalu disambut dengan kemalasan. Tapi tidak dengan para ahli fisika di ruang gedung itu. Mereka berdebat, dan sepertinya tidak menemukan konklusi ajeg bersama.

Mereka adalah Max Planck, Pauli, dan Heisenberg, yang sedang membahas tentang Albert Einstein, teoritikus fisika terbesar masa itu, bahkan hingga saat ini. Diskusi mereka menitik pada pokok soal, Einstein yang terlalu sering berbicara tentang Tuhan dalam setiap esai dan ceramahnya, seperti ketika Einstein menulis, “aku ingin membaca pikiran Tuhan”, “Tuhan tidak bermain dadu”, dan yang lainnya.

Lalu bagaimana para ilmuwan itu harus menyikapi kelakuan Einstein tersebut? Setelah perdebatan sengit, akhirnya Pauli menyatakan: “Kalau batas antar bidang-bidang pemikiran dan pengalaman kita semakin menajam, pada akhirnya kita akan masuk pada sebuah kesepian yang menakutkan dan kita harus ijinkan air mata menetes di pipi kita”.

Itulah sebabnya, sebagai ilmuwan (fisikawan), Einstein menolak konsepsi Tuhan yang antroposentris (Tuhan yang dibayangkan seumpama manusia). Einstein melihat ide Tuhan personal sebagai bentuk antropomorfisme (seperti contohnya doktrin Mujassimah Wahabi yang menganggap Tuhan punya tangan dan bertempat).

Pada intinya, seperti alam, Tuhan adalah misteri tak terlukiskan dengan bahasa manusia. Mengapa demikian? Karena ia pun tidak bisa melukiskan batas sepi kosmos, sehingga ia pun harus terpaksa berhenti pada E=MC2. Itupun tidak juga menuntaskan misteri kosmos. Kosmos dan Tuhan tetap misteri yang tak akan pernah terungkap tuntas.

Dalam hal ini, Imam Ali bin Abi Thalib as pernah berkhutbah: “Ia yang untuk menggambarkan-Nya tak ada batas telah diletakkan, tak ada pujian yang maujud, tak ada waktu ditetapkan, dan tak ada jangka waktu ditentukan. Ia mengadakan ciptaan dengan kodrat-Nya, menebarkan angin dengan rahmat-Nya, dan mengukuhkan bumi yang goyah dengan batu”.

Khutbah Imam Ali bin Abi Thalib as itu telah menjawab kebuntuan yang dialami para ilmuwan, terutama para fisikawan, baik di era keemasan Islam masa Dinasti Abbasiyah hingga era mutakhir kita saat ini. Sampai saat ini pun, para ilmuwan (termasuk para fisikawan tentu saja) bahkan belum sanggup menjawab mula semesta serta keluasan dan batasnya.

Sebenarnya, menurut Ayatullah Murtadha Muthahhari, perlawanan Eropa terhadap gereja dan kekristenan karena memang secara inheren doktrin gereja bertentangan dengan akal dan rasionalitas. Tidak demikian dengan Islam: “Ilmu pengetahuan memberikan kepada kita cahaya dan kekuatan. Agama memberi kita cinta, harapan dan kehangatan. Ilmu pe¬ngetahuan membantu menciptakan peralatan dan mempercepat laju kemajuan. Agama menetapkan maksud upaya manusia dan sekaligus mengarahkan upaya tersebut. Ilmu pengetahuan membawa revolusi lahiriah (material). Agama membawa revolusi batiniah (spiritual). Ilmu pengetahuan menjadikan dunia ini dunia manusia. Agama menjadikan kehidupan sebagai kehidupan manusia”.

Ayatollah Murtadha Muthahhari, ketika melihat hubungan, interaksi, atau dialektika antara agama (Islam) dan sains ini, memang memandang agama dengan paradigma harmonis dan saling melengkapi, bukan saling bertentangan sebagaimana Eropa ketika memberontak dan melawan dogma dan dominasi gereja paska abad pertengahan itu: “Hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama dapat dibahas dari dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama adalah kita lihat apakah ada sebuah agama yang konsepsinya melahirkan keimanan dan sekaligus rasional, atau semua gagasan yang ilmiah itu bertentangan dengan agama, tidak memberikan harapan dan tidak melahirkan optimisme.

Sudut pandang kedua yang menjadi landasan dalam membahas hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan adalah pertanyaan tentang bagaimana keduanya ini berpengaruh pada manusia. Apakah ilmu pengetahuan membawa kita ke satu hal, dan agama membawa kita kepada sesuatu yang bertentangan dengan satu hal itu? Apakah ilmu pengetahuan mau membentuk (karakter) kita dengan satu cara dan agama dengan cara lain? Atau apakah agama dan ilmu pengetahuan saling mengisi, ikut berperan dalam menciptakan keharmonisan kita semua? Baiklah, kita lihat sumbangan ilmu pengetahuan untuk kita dan sumbangan agama untuk kita.

Ilmu pengetahuan dan agama sama-sama memberikan kekuatan kepada manusia. Namun, kekuatan yang diberikan oleh agama adalah berkesinambungan, sedangkan kekuatan yang diberikan oleh ilmu pengetahuan terputus-putus. Ilmu pengetahuan itu indah, begitu pula agama. Ilmu pengetahuan memperindah akal dan pikiran. Agama memperindah jiwa dan perasaan. Ilmu pengetahuan dan agama sama-sama membuat manusia merasa nyaman. Ilmu pengetahuan melindungi manusia terhadap penyakit, banjir, gempa bumi dan badai. Agama melindungi manusia terhadap keresahan, kesepian, rasa tidak aman dan pikiran picik. Ilmu pengetahuan mengharmoniskan dunia dengan manusia, agama menyelaraskan manusia dengan dirinya.

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa akibat dari memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama, telah terjadi kerugian yang tak dapat ditutup. Agama harus dipahami dengan memperhatikan ilmu pengetahuan, sehingga tidak terjadi pembauran agama dengan mitos. Agama tanpa ilmu pengetahuan berakhir dengan kemandekan dan prasangka buta, dan tak dapat mencapai tujuan. Kalau tak ada ilmu pengetahuan, agama menjadi alat bagi orang-orang pandai yang munafik. Kasus kaum Khawarij pada zamah awal Islam dapat kita lihat sebagai satu contoh kemungkinan ini. Contoh lainnya yang beragam bentuknya telah kita lihat, yaitu pada periode-periode selanjutnya, dan masih kita saksikan.

Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah seperti sebilah pedang tajam di tangan pemabuk yang kejam. Juga ibarat lampu di tangan pencuri, yang digunakan untuk membantu si pencuri mencuri barang yang berharga di tengah malam. Itulah sebabnya sama sekali tak ada bedanya antara watak dan perilaku orang tak beriman dewasa ini yang berilmu pengetahuan dan orang tak beriman pada masa dahulu yang tidak berilmu pengetahuan. Lantas, apa bedanya antara Churchill, Johnson, Nixon dan Stalin dewasa ini dengan Fir’aun, Jenghis Khan dan Attila pada zaman dahulu?

Dapatlah dikatakan bahwa karena ilmu pengetahuan adalah cahaya dan juga kekuatan, maka penerapannya pada dunia mate¬rial ini tidaklah khusus. Ilmu pengetahuan mencerahkan dunia spiritual kita juga, dan konsekuensinya memberikan kekuatan bagi kita untuk mengubah dunia spiritual kita. Karena itu, ilmu pengetahuan dapat membentuk dunia dan manusia juga. Ilmu pengetahuan dapat menunaikan tugasnya sendiri, yaitu mem¬bentuk dunia dan juga tugas agama, yaitu membentuk manusia. Jawabannya adalah bahwa semua ini memang benar, namun masalah pokoknya adalah bahwa ilmu pengetahuan adalah alat yang penggunaannya tergantung kepada kehendak manusia. Apa saja yang dilakukan oleh manusia, dengan bantuan ilmu pengetahuan dia dapat melakukannya dengan lebih baik. Itulah sebabnya kami katakan bahwa ilmu pengetahuan membantu kita mencapai tujuan dan melintasi jalan yang kita pilih”.

Dan akhirnya memang, dalam domain dan disiplin filsafat, sains dan ilmu pengetahuan, demikian Thomas Nagel dalam bukunya yang berjudul The View from Nowhere, ada sebuah pertanyaan yang sangat urgen dan mendasar, yaitu bagaimana mengkombinasikan perspektif personal yang sifatnya partikular dalam sebuah dunia dengan pandangan objektif di dunia yang sama. Dan memang, masalah tersebut senantiasa hadir dalam kancah sains, filsafat dan ilmu pengetahuan, karena berkenaan dengan manusia sebagai subjek yang “mencari tahu” itu sendiri dan “apa yang ingin diketahui”. Belum lagi soal-soal lain yang berkenaan dengan itu semua. Menurut Muthahhari, suburnya paham dan gerakan materialisme di Barat tak dapat dilepaskan dari “kekurangan” doktrin Gereja Kristen dan kuatnya paham antropomorfisme Tuhan dalam doktrin Kristen dan Gereja Barat. Kita pun maphum, bahwa dalam sejarahnya, agama Kristen telah tercampur dengan paham dan budaya pagan Yunani-Romawi (Greco-Roman) ketika diterima di Eropa (Barat). Singkatnya, Kristen yang berasal dari Timur telah mengalami Westernisasi ketika hadir di Eropa.

Abad Digital


(Koran Kabar Banten 16 Februari 2024)

Oleh: Sulaiman Djaya (Pembaca Khazanah Pemikiran & Kebudayaan)

“Mereka yang berpengetahuan, berkuasa. Pengetahuan tegakkan si renta kuat perkasa” (Ferdowsi, filsuf dan penyair dari Iran) 

Saya awali tulisan ini dengan pengalaman saya sendiri. Sewaktu saya resmi menjadi mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 1998, saya masih menggunakan telepon koin umum ketika berkomunikasi dengan siapa saja yang berjarak cukup jauh, semisal dengan teman saya yang kebetulan kontrakannya punya telepon. Ketika hendak mengirim naskah tulisan ke media atau ke teman sendiri, saya menggunakan jasa warung internet (warnet) tempat siapa saja menggunakan jasa yang sama, kebanyakan para mahasiswa dan mahasiswi, termasuk mereka yang hobi nonton film biru.

Bertahun-tahun kemudian semua itu tergusur dan gulung tikar dengan kehadiran android atau smart phone yang menyediakan ragam fitur dan aplikasi serta platform internet dan layanan digital. Termasuk pesan singkat, yang semula SMS digusur oleh WhattsApp. Siapa pun kemudian bisa berkomunikasi dan mengirim naskah tulisan hanya dengan menggunakan android. Pelan atau cepat tapi pasti, kehadiran android atau smart phone menggusur banyak hal, hingga ke segala ragam dan bentuk jasa, dari mulai bisnis hingga akademik.

Dampak kehadiran kemajuan tekhnologi digital saat ini bagi kehidupan manusia setara dengan ketika ditemukan (diciptakannya) mesin cetak oleh Guttenberg dan mesin uap oleh James Watt. Keduanya mengubah sejarah dan kehidupan atau peradaban ummat manusia. Melahirkan revolusi industri dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dulu sudah ditegaskan Ferdowsi dari Persia, yang akan jadi penentu utama bangsa mana yang akan berjaya dan yang akan tak berdaya.

Kehadiran android atau smart phone, media sosial, dan disusul Artificial Intelligence (AI) juga telah menggeser dan menggusur hal-hal cetak semisal koran, buku, tabloid, majalah dan selebaran cetak kertas lainnya. Kini orang membaca narasi atau tulisan dan menikmati produk dan kreasi visual via android mereka. Indonesia, berdasarkan survey, merupakan Negara yang warganya paling lama menghabiskan waktunya untuk menatap layar android, terutama untuk berselancar di media sosial semisal tiktok, facebook dan instagram. Negara-negara besar lainnya pun warganya rela berlama-lama berselancar di internet dan media sosial. Miliaran manusia di dunia.

Survey itu, jika memang valid, telah menunjukkan bahwa saat ini orang-orang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menatap layar android mereka ketimbang untuk membaca buku, contohnya. Bahkan untuk membaca narasi dan tulisan pun cukup via android, seperti buku dan tulisan dalam format PDF. Bila ingin membaca berita atau informasi lainnya, semisal isu-isu dan materi-materi gaya hidup, gossip selebriti dan hal-hal yang terkait dengan kebudayaan, orang-orang pun tinggal searching media-media digital dan lalu mengkliknya.

Segalanya saat ini tinggal menjentikkan dan mengklikkan jari di keyboard android untuk melakukan aktivitas pengisi waktu luang atau pun berkreasi menggunakan aplikasi-aplikasi digital. Hal-hal yang dulu tidak sempat dipikirkan dan dibayangkan para filsuf sekaliber Friedrich Nietzsche, Al-Biruni, Ibn Sina atau Ibn Haitham yang pikiran dan imajinasi mereka masih terbatas dengan kondisi dan ketersediaan budaya dan lanskap pengetahuan zaman mereka.

Teknologi digital dan media sosial juga telah menjadi instrument perang zaman kita saat ini, seperti untuk perang informasi dan propaganda yang jauh lebih massif dan cepat ketimbang propaganda perang di era Perang Dunia I dan II. Kini warga dunia yang sadar dan tidak lagi bisa dibohongi media-media mainstream propaganda Barat, misalnya, beramai-ramai mengabarkan fakta dan peristiwa yang disembunyikan dan diframing media-media mainstream propaganda, cukup dengan menggunakan ragam media sosial: tiktok, instagram dan facebook.

Yang menarik dari apa yang ditunjukkan survey yang telah saya sebutkan itu bahwa miliaran manusia menghabiskan waktunya untuk berselancar di media sosial merupakan tanda dan indikator bahwa ummat manusia telah merasa asyik berada (pikiran dan emosi mereka) berada dalam dunia mayantara. Bahkan saya pernah punya pengalaman pribadi berbincang kopdar dengan seseorang yang malah ia seringkali lebih peduli untuk selalu menatap layar androidnya yang membuat saya merasa tidak nyaman dan diabaikan. Artinya orang kemudian menjadi menganggap tidak ada yang justru hadir di hadapannya secara nyata.   

Contoh kecil yang saya kemukakan itu sekedar sedikit dampak tak terduga dari era digital, seperti dampak media sosial yang merenggangkan interaksi antar sesama di dunia nyata. Selain perilaku narsistik yang berlebihan atau ekspose diri sebagai wujud pelarian dari dunia nyata.

Kecanduan internet dan media sosial ternyata telah mengasingkan manusia dari dunia nyata dan sesamanya. Demikianlah internet telah merambah ke setiap sudut hidup dan lintas usia, dari mulai anak-anak hingga orang tua. Internet, tak diragukan lagi, merupakan bukti di mana kapitalisme telah menciptakan suatu dunia tekno-sains yang dampak revolusionernya dapat disamakan dengan revolusi mesin cetak yang ditemukan Gutenberg, tentu saja menurut kadar jamannya masing-masing. Namun, selain sejumlah fungsi dan nilai positifnya, internet juga bermata dua: memiliki dampak negatif yang bahkan bisa melampaui manfaat positifnya.

Terkait perkembangan gegap gempita “dunia maya” ini, sejumlah kalangan dan analis mengkhawatirkan, misalnya, ketika orang-orang menghabiskan waktunya di dunia maya (internet), pada saat itu mereka telah melupakan realitas hidup atau dunia nyata mereka, ruang nyata dan persentuhan hidup sesungguhnya dengan sesama dan lingkungan (ruang) yang riil, yang tak semata virtual. Di antara pengkritiknya yang keras adalah Mark Slouka dan yang moderat adalah Jean Baudrillard.

Berbeda dengan Jean Baudrillard yang terbilang santai dalam menyikapi gegap gempita dunia maya ini, Mark Slouka termasuk sangat mengkhawatirkan dampak dunia maya akan merusak identitas dan kedirian ummat manusia secara sosial dan psikologis. Ada baiknya kita kutip ilustrasi yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul War of the Worlds: Cyberspace and the High-Tech Assault on Reality (yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan judul Ruang yang Hilang dan diterbitkan Mizan di tahun 1999) itu:

“Ketika itu tahun 1990. Seorang wartawan New York Times sedang menyelidiki kasus terkenal tentang seorang pria yang dituduh membunuh istrinya yang sedang hamil, tetapi kemudian sang pria justru berkilah tentang serangan seorang kulit hitam tak dikenal atas pembunuhan tersebut. Ia mewawancara tetangga pasangan itu. “Anda percaya ceritanya?” tanya si wartawan. “Anda mengenal tersangka? Menurut Anda, mungkinkah dia hanya mengarang cerita bohong?” “Saya sungguh tak tahu,” jawab si tetangga. “Saya ingin sekali menonton filmnya ditayangkan di TV agar saya dapat mengetahui bagaimana akhir ceritanya.” Kurang dari satu tahun kemudian, acara TV yang ditunggunya itu akhirnya mengudara, judulnya “Selamat Malam, Istri Tersayang: Pembunuhan di Boston.”

Dengan ilustrasi tersebut, Mark Slouka sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa kemajuan tekhno-sains atau tekhnologi informasi dan dunia maya, yang dalam hal ini sajian entertainment di televisi sebagai contohnya (yang telah mengakibatkan kecanduan bagi para penontonnya) justru telah mengasingkan manusia dari kehidupan nyatanya dan dari kehidupan kesehariannya, serta dari persentuhan dan keterlibatannya secara intim dengan sesamanya sendiri dalam ruang hidup dan lingkungan yang nyata.

Dalam hal ini, jauh sebelumnya Neil Postman telah menyadari sisi buruk tekhno-sains atau tekhnologi informasi (di samping manfaat positifnya), melalui bukunya yang cukup populer yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul ‘Menghibur Diri Sampai Mati’ yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan tahun 1995, di mana ia berpendapat bahwa salah-satu sisi buruk televisi, sebagai contohnya, telah membuat orang-orang kembali menggandrungi budaya oral serta hal-hal yang instant dan banal.

Nilai penting buku Neil Postman tersebut tak lain karena buku tersebut telah membuktikan kecenderungan bahwa apa yang diramalkan George Orwell adalah keliru, dan apa yang “diramalkan” atau diprediksi oleh Aldous Huxley adalah benar –setidaknya menurut versi Neil Postman sendiri. Kita tahu, George Orwell memperingatkan kita akan ancaman penindasan tirani penguasa. Sedangkan Aldous Huxley justru menyatakan bahwa manusia justru akan semakin mencintai penindasnya, memuja berbagai tekhnologi (termasuk internet seperti jejaring sosial atau media sosial dunia maya dan perangkat tekhno-sains lainnya) yang akan membutakan pikirannya. Neil Postman memberikan contohnya seperti ini: “Orwell memprihatinkan pelarangan buku. Huxley memprihatinkan lenyapnya alasan untuk melarang penerbitan buku, karena minat baca telah punah. Orwell mencemaskan adanya pihak yang ingin menjauhkan kita dari informasi, sementara Huxley mengkhawatirkan mereka yang menjejali kita dengan begitu banyak informasi sampai kita menjadi pasif dan egois. Orwell mengkhawatirkan disembunyikannya kebenaran dari kita, Huxley mengkhawatirkan hilangnya kebenaran di dalam lautan informasi yang tidak relevan. Orwell mencemaskan datangnya masa di mana kita menjadi masyarakat yang terbelenggu. Huxley mencemaskan kemungkinan kita menjadi masyarakat remeh-temeh. Singkatnya, Orwell cemas akan kehancuran kita yang disebabkan oleh hal-hal yang kita benci. Huxley, sebaliknya, cemas akan kehancuran kita yang disebabkan oleh hal-hal yang kita sukai.”