Arsip Tag: media-sosial

Abad Digital


(Koran Kabar Banten 16 Februari 2024)

Oleh: Sulaiman Djaya (Pembaca Khazanah Pemikiran & Kebudayaan)

“Mereka yang berpengetahuan, berkuasa. Pengetahuan tegakkan si renta kuat perkasa” (Ferdowsi, filsuf dan penyair dari Iran) 

Saya awali tulisan ini dengan pengalaman saya sendiri. Sewaktu saya resmi menjadi mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 1998, saya masih menggunakan telepon koin umum ketika berkomunikasi dengan siapa saja yang berjarak cukup jauh, semisal dengan teman saya yang kebetulan kontrakannya punya telepon. Ketika hendak mengirim naskah tulisan ke media atau ke teman sendiri, saya menggunakan jasa warung internet (warnet) tempat siapa saja menggunakan jasa yang sama, kebanyakan para mahasiswa dan mahasiswi, termasuk mereka yang hobi nonton film biru.

Bertahun-tahun kemudian semua itu tergusur dan gulung tikar dengan kehadiran android atau smart phone yang menyediakan ragam fitur dan aplikasi serta platform internet dan layanan digital. Termasuk pesan singkat, yang semula SMS digusur oleh WhattsApp. Siapa pun kemudian bisa berkomunikasi dan mengirim naskah tulisan hanya dengan menggunakan android. Pelan atau cepat tapi pasti, kehadiran android atau smart phone menggusur banyak hal, hingga ke segala ragam dan bentuk jasa, dari mulai bisnis hingga akademik.

Dampak kehadiran kemajuan tekhnologi digital saat ini bagi kehidupan manusia setara dengan ketika ditemukan (diciptakannya) mesin cetak oleh Guttenberg dan mesin uap oleh James Watt. Keduanya mengubah sejarah dan kehidupan atau peradaban ummat manusia. Melahirkan revolusi industri dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dulu sudah ditegaskan Ferdowsi dari Persia, yang akan jadi penentu utama bangsa mana yang akan berjaya dan yang akan tak berdaya.

Kehadiran android atau smart phone, media sosial, dan disusul Artificial Intelligence (AI) juga telah menggeser dan menggusur hal-hal cetak semisal koran, buku, tabloid, majalah dan selebaran cetak kertas lainnya. Kini orang membaca narasi atau tulisan dan menikmati produk dan kreasi visual via android mereka. Indonesia, berdasarkan survey, merupakan Negara yang warganya paling lama menghabiskan waktunya untuk menatap layar android, terutama untuk berselancar di media sosial semisal tiktok, facebook dan instagram. Negara-negara besar lainnya pun warganya rela berlama-lama berselancar di internet dan media sosial. Miliaran manusia di dunia.

Survey itu, jika memang valid, telah menunjukkan bahwa saat ini orang-orang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menatap layar android mereka ketimbang untuk membaca buku, contohnya. Bahkan untuk membaca narasi dan tulisan pun cukup via android, seperti buku dan tulisan dalam format PDF. Bila ingin membaca berita atau informasi lainnya, semisal isu-isu dan materi-materi gaya hidup, gossip selebriti dan hal-hal yang terkait dengan kebudayaan, orang-orang pun tinggal searching media-media digital dan lalu mengkliknya.

Segalanya saat ini tinggal menjentikkan dan mengklikkan jari di keyboard android untuk melakukan aktivitas pengisi waktu luang atau pun berkreasi menggunakan aplikasi-aplikasi digital. Hal-hal yang dulu tidak sempat dipikirkan dan dibayangkan para filsuf sekaliber Friedrich Nietzsche, Al-Biruni, Ibn Sina atau Ibn Haitham yang pikiran dan imajinasi mereka masih terbatas dengan kondisi dan ketersediaan budaya dan lanskap pengetahuan zaman mereka.

Teknologi digital dan media sosial juga telah menjadi instrument perang zaman kita saat ini, seperti untuk perang informasi dan propaganda yang jauh lebih massif dan cepat ketimbang propaganda perang di era Perang Dunia I dan II. Kini warga dunia yang sadar dan tidak lagi bisa dibohongi media-media mainstream propaganda Barat, misalnya, beramai-ramai mengabarkan fakta dan peristiwa yang disembunyikan dan diframing media-media mainstream propaganda, cukup dengan menggunakan ragam media sosial: tiktok, instagram dan facebook.

Yang menarik dari apa yang ditunjukkan survey yang telah saya sebutkan itu bahwa miliaran manusia menghabiskan waktunya untuk berselancar di media sosial merupakan tanda dan indikator bahwa ummat manusia telah merasa asyik berada (pikiran dan emosi mereka) berada dalam dunia mayantara. Bahkan saya pernah punya pengalaman pribadi berbincang kopdar dengan seseorang yang malah ia seringkali lebih peduli untuk selalu menatap layar androidnya yang membuat saya merasa tidak nyaman dan diabaikan. Artinya orang kemudian menjadi menganggap tidak ada yang justru hadir di hadapannya secara nyata.   

Contoh kecil yang saya kemukakan itu sekedar sedikit dampak tak terduga dari era digital, seperti dampak media sosial yang merenggangkan interaksi antar sesama di dunia nyata. Selain perilaku narsistik yang berlebihan atau ekspose diri sebagai wujud pelarian dari dunia nyata.

Kecanduan internet dan media sosial ternyata telah mengasingkan manusia dari dunia nyata dan sesamanya. Demikianlah internet telah merambah ke setiap sudut hidup dan lintas usia, dari mulai anak-anak hingga orang tua. Internet, tak diragukan lagi, merupakan bukti di mana kapitalisme telah menciptakan suatu dunia tekno-sains yang dampak revolusionernya dapat disamakan dengan revolusi mesin cetak yang ditemukan Gutenberg, tentu saja menurut kadar jamannya masing-masing. Namun, selain sejumlah fungsi dan nilai positifnya, internet juga bermata dua: memiliki dampak negatif yang bahkan bisa melampaui manfaat positifnya.

Terkait perkembangan gegap gempita “dunia maya” ini, sejumlah kalangan dan analis mengkhawatirkan, misalnya, ketika orang-orang menghabiskan waktunya di dunia maya (internet), pada saat itu mereka telah melupakan realitas hidup atau dunia nyata mereka, ruang nyata dan persentuhan hidup sesungguhnya dengan sesama dan lingkungan (ruang) yang riil, yang tak semata virtual. Di antara pengkritiknya yang keras adalah Mark Slouka dan yang moderat adalah Jean Baudrillard.

Berbeda dengan Jean Baudrillard yang terbilang santai dalam menyikapi gegap gempita dunia maya ini, Mark Slouka termasuk sangat mengkhawatirkan dampak dunia maya akan merusak identitas dan kedirian ummat manusia secara sosial dan psikologis. Ada baiknya kita kutip ilustrasi yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul War of the Worlds: Cyberspace and the High-Tech Assault on Reality (yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan judul Ruang yang Hilang dan diterbitkan Mizan di tahun 1999) itu:

“Ketika itu tahun 1990. Seorang wartawan New York Times sedang menyelidiki kasus terkenal tentang seorang pria yang dituduh membunuh istrinya yang sedang hamil, tetapi kemudian sang pria justru berkilah tentang serangan seorang kulit hitam tak dikenal atas pembunuhan tersebut. Ia mewawancara tetangga pasangan itu. “Anda percaya ceritanya?” tanya si wartawan. “Anda mengenal tersangka? Menurut Anda, mungkinkah dia hanya mengarang cerita bohong?” “Saya sungguh tak tahu,” jawab si tetangga. “Saya ingin sekali menonton filmnya ditayangkan di TV agar saya dapat mengetahui bagaimana akhir ceritanya.” Kurang dari satu tahun kemudian, acara TV yang ditunggunya itu akhirnya mengudara, judulnya “Selamat Malam, Istri Tersayang: Pembunuhan di Boston.”

Dengan ilustrasi tersebut, Mark Slouka sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa kemajuan tekhno-sains atau tekhnologi informasi dan dunia maya, yang dalam hal ini sajian entertainment di televisi sebagai contohnya (yang telah mengakibatkan kecanduan bagi para penontonnya) justru telah mengasingkan manusia dari kehidupan nyatanya dan dari kehidupan kesehariannya, serta dari persentuhan dan keterlibatannya secara intim dengan sesamanya sendiri dalam ruang hidup dan lingkungan yang nyata.

Dalam hal ini, jauh sebelumnya Neil Postman telah menyadari sisi buruk tekhno-sains atau tekhnologi informasi (di samping manfaat positifnya), melalui bukunya yang cukup populer yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul ‘Menghibur Diri Sampai Mati’ yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan tahun 1995, di mana ia berpendapat bahwa salah-satu sisi buruk televisi, sebagai contohnya, telah membuat orang-orang kembali menggandrungi budaya oral serta hal-hal yang instant dan banal.

Nilai penting buku Neil Postman tersebut tak lain karena buku tersebut telah membuktikan kecenderungan bahwa apa yang diramalkan George Orwell adalah keliru, dan apa yang “diramalkan” atau diprediksi oleh Aldous Huxley adalah benar –setidaknya menurut versi Neil Postman sendiri. Kita tahu, George Orwell memperingatkan kita akan ancaman penindasan tirani penguasa. Sedangkan Aldous Huxley justru menyatakan bahwa manusia justru akan semakin mencintai penindasnya, memuja berbagai tekhnologi (termasuk internet seperti jejaring sosial atau media sosial dunia maya dan perangkat tekhno-sains lainnya) yang akan membutakan pikirannya. Neil Postman memberikan contohnya seperti ini: “Orwell memprihatinkan pelarangan buku. Huxley memprihatinkan lenyapnya alasan untuk melarang penerbitan buku, karena minat baca telah punah. Orwell mencemaskan adanya pihak yang ingin menjauhkan kita dari informasi, sementara Huxley mengkhawatirkan mereka yang menjejali kita dengan begitu banyak informasi sampai kita menjadi pasif dan egois. Orwell mengkhawatirkan disembunyikannya kebenaran dari kita, Huxley mengkhawatirkan hilangnya kebenaran di dalam lautan informasi yang tidak relevan. Orwell mencemaskan datangnya masa di mana kita menjadi masyarakat yang terbelenggu. Huxley mencemaskan kemungkinan kita menjadi masyarakat remeh-temeh. Singkatnya, Orwell cemas akan kehancuran kita yang disebabkan oleh hal-hal yang kita benci. Huxley, sebaliknya, cemas akan kehancuran kita yang disebabkan oleh hal-hal yang kita sukai.”