Arsip Tag: news

Opini Koran Kabar Banten 15 Maret 2024


Dakwah Zaman Digital

Oleh: Sulaiman Djaya, Esais dan Penyair di Kubah Budaya

Di zaman medsos dan digital ini, kita punya tantangan sekaligus kesempatan untuk menghadirkan Islam yang ramah dan rahmatan lil ‘alamin bagi siapa saja. Kreativitas dan kecakapan adaptif terhadap perkembangan tekhnologi informasi dan media menjadi salah-satu kuncinya. Dakwah memasuki ruang-ruang baru sebagai akibat dan dampak dari kemajuan tekhnologi dan peradaban manusia saat ini hingga di masa depan. Dakwah tak lagi hanya di majlis-majlis ta’lim, tapi telah dipaksa memasuki ruang-ruang dan media-media baru semisal televisi, YouTube, situs hingga jejaring sosial atau media sosial semisal facebook, tiktok, dan instagram. Tentu saja, selain keniscayaan penguasaan materi dakwah dari ragam ilmu keislamman, kemahiran dan kecerdikan adaptif terhadap perkembangan tekhnologi informasi serta inovasi dan kreativitas dalam ranah industri  budaya dan media.

Relevansi dakwah digital saat ini karena soal-soal keagamaan tak dapat dilepaskan dari aktivitas dan keasyikan orang-orang berselancar di internet dan media sosial di mana yang memprihatinkan kita media sosial itu pula yang menjadi ‘media’ penyebaran doktrin-doktrin yang diklaim sebagai ajaran dan nilai religius yang setiap saat melakukan agitasi dan penghasutan kepada para pengguna media sosial, padahal sesungguhnya tak sesuai dengan semangat keagamaan yang sebenarnya. Yang kedua, dan ini juga tak kalah pelik dan memprihatinkan kita, media sosial itu seakan telah menjadi ‘pesantren’ singkat tak resmi, yang sayangnya lebih sering menyebarkan teologi yang devian, dan yang lebih buruknya lagi, adalah justru telah melahirkan budaya oral ketimbang membuat orang-orang terbiasa melakukan analisa, berpikir kritis, dan membaca narasi panjang yang bernas.

Setiap hari, media sosial menghadirkan ‘bujukan’ informasi yang sifatnya kilasan dengan pergantian dan durasi yang demikian cepat, semisal di facebook, instagram, tiktok, dan twitter, yang oleh orang-orang yang tak punya daya kritis dan analitis yang memadai akan ditelan mentah-mentah begitu saja, meski informasi-informasi itu ternyata tak lebih merupakan hasutan, propaganda, atau hoax. Inilah tantangan sekaligus peluang kita mengisi dakwah di ruang-ruang baru tersebut untuk menyebarkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin atau Islam yang ramah dan mengkomunikasikan spirit Islam asli yang welas-asih.

Bila tak diisi dan dimanfaatkan oleh kita yang menjaga dan merawat moderatisme Islam, maka masyarakat akan terbiarkan begitu saja menjadi korban agitasi dan hasutan para penceramah yang mengajarkan dan mengujarkan kebencian hingga membenarkan persekusi atas dan terhadap ke-liyan-an. Mereka yang menjadi ‘korban’ hasutan dan propaganda yang tersebar di media sosial itu kemudian menjadi para penyebar propaganda dan hoax pula dan begitu seterusnya. Mereka membagikan terus-menerus propaganda, hoax, dan hasutan tersebut, yang ketika sedemikian menjadi massif lalu akan dianggap sebagai ‘kebenaran’ yang tak terbantahkan. Di sini sesungguhnya harus juga disadari bahwa ketika media-media atau situs-situs yang narasi dan isinya adalah hasutan, bahkan ujaran kebencian tersebut begitu mudah dianggap sebagai ‘kebenaran’, publik terpengaruh dan mereka seakan memiliki ‘pembenaran’ atau laku membenci pihak lain yang ‘difitnah’, dan ujung-ujungnya mereka merasa memiliki ‘dasar’ yang sah untuk mempraktikkan kekerasan dan persekusi sepihan yang bertentangan dengan Negara hukum.

Di era digital dan zaman android sekarang ini, ketika orang-orang lebih sibuk dan lebih senang berselancar menghabiskan waktu keseharian mereka untuk asyik-masyuk di media sosial: facebook, instagram, twitter, youtube dan tiktok, ketimbang membaca buku, betapa mudahnya hasutan dan propaganda ‘ceramah dan narasi’ kebencian dan intoleran disebarkan dan lalu dikonsumsi banyak orang. Tak jarang orang-orang begitu mudahnya menganggap yang hoax sebagai fakta dan kebenaran, yang tak lain adalah mereka yang menjadi korban hasutan tersebut, tiba-tiba merasa yang paling benar dan paling beriman. Inilah zaman ketika akal dan analisis dibunuh oleh tekhnologi internet, yang justru diciptakan manusia, bahkan tak sedikit yang kemudian menjadi mesin perang yang berubah menjadi zombie-zombie yang akalnya mati sebelum tubuh mereka sendiri menjadi jenazah atau mayat, semisal mereka yang menjadi para pelaku teror, bom bunuh diri dan pelaku praktik kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Tak diragukan lagi, di zaman ketika mesin telah membunuh akal dan intelegensia, yaitu era android dan internet kita saat ini, para pendakwah dan para penulis, kaum akademik dan intelektual, mestilah menjalankan tugas ‘profetik’ sebagai para pencerah, dan tentu saja menjadi para penyuluh masyarakat yang sanggup memberi lentera dan pelita bagi hidupnya akal manusia melalui kiprah dan karya-karya mereka, yang mereka tuliskan, yang mereka terbitkan dan mereka bukukan. Sebab jika tidak, intelek dan bahkan jiwa manusia akan remuk ditelan teknologi internet yang diciptakannya sendiri, yang belakangan menjadi medan penyebaran hoax, hasutan, ujaran kebencian, propaganda politik dan perang, di saat internet tersebut juga menjadi media penyebaran ‘budaya oral’ yang instant.

‘Terbunuhnya’ intelek inilah yang membuat orang mudah diindoktrinasi dengan ajaran-ajaran dan ujaran-ceramah kebencian dan memiliki pandangan bahwa agama tidak memiliki kekariban dan koherensi dengan akal. Di sini, kita perlu merenungkan apa yang pernah dinyatakan Sayidina Ali, yang kira-kira bunyinya: “Kadar keberagamaan seseorang sesuai dengan kadar akalnya.” Bukankah dalam Islam, sebagai contoh, syarat kelayakan ibadah seseorang adalah ketika ia ‘aqil balig? Kita tidak diwajibkan berpuasa Ramadaan, misalnya, ketika kita belum aqil balig. Hidupnya intelek ini dimungkinkan dengan aktivitas daras dan membaca, mengaji dan mengkaji, terkait dengan kapasitas literer seseorang. Menurut Sayidina Ali bin Abi Thalib, akal atau intelek ini terbagi dua: “akal tabi’i (natural), kedua adalah akal tajribi (eksperimentasi dan pengalaman), kedua dari pembagian akal manusia ini memberikan manfaat dan faedah kepada manusia, dan seseorang harus menyakini bahwa ia memiliki akal dan agama” (Biharul Anwar jilid 78 hal 128).

Nilai dan materi dakwah yang sesuai dengan visi Islam Moderat atau moderatisme Islam adalah nilai, ajaran dan materi dakwah yang mengajak dan mengajarkan semangat dan sikap toleran, solidaritas dan welas-asih kepada sesama, sesuai dengan makna kata dakwah itu sendiri yang mengajak dengan hikmah kepada kebajikan dan kemasalahatan, bukan menyebarkan ujaran dan sikap kebencian dan intoleransi. Kita sadar betul banyak muslim yang mudah terhasut dan terprovokasi karena ke-awaman mereka secara keagamaan. Banyak muslim yang keagamaan mereka sekedar patuh secara ritual saja. Banyak dari mereka orang-orang baik dan lugu lalu menjadi tidak baik setelah mendengar ceramah-ceramah sektarian yang memassifkan ujaran kebencian dan sikap intoleran, termasuk dalam retorika pemaknaan jihad belakangan ini yang seringkali disalah-gunakan untuk membenarkan teror dan kekerasan.

Dalam ceramahnya di Chicago Humanities Festival, Garry Wills mengutip pernyataan Patricia Crone bahwa pelaku terorisme sudah pasti mereka yang tidak paham agama mereka  sendiri. Kutipan itu dilontarkan Garry Wills dalam rangka mengemukakan pembacaannya bahwa dalam Quran tidak ada kata ‘pedang’ ketika banyak orang Barat menuduh Islam mengajarkan agressi dan kitab sucinya sebagai ayat-ayat pedang dan menganjurkan agressi atau terorisme. Kenyatannya dalam Quran, hanya perang dalam rangka membela diri (mempertahankan diri) yang dibenarkan dan sama-sekali tidak  ada ayat yang membenarkan terorisme apalagi bom bunuh diri.

Bersamaan dengan itu pula, lanjutnya, kata jihad dalam makna esensinya pun acapkali disalah-pahami  banyak orang di Barat dan di sisi lain dibajak oleh para teroris dan kaum ekstrimis dalam rangka ‘membenarkan’ tindakan kekerasan mereka. Jihad tentu saja bermakna kesungguh-sungguhan, semangat dalam pengertian budaya Barat, ungkap Garry Wills, untuk melakukan tindakan-tindakan positif dan bermanfaat bagi kehidupan.

Memang, seorang muslim yang peka tentu saja akan merasa prihatin dengan peristiwa-peristiwa mutakhir yang berkenaan dengan Islam sebagai sebuah kepercayaan dan pandangan hidup muslim, yang akhir-akhir ini dilekatkan dengan kejadian-kejadian teror dan kekerasan, yang menemukan titik klimaks pertamanya pada peristiwa 11 September 2001, atau yang lazim disebut sebagai Black September yang mengakibatkan kematian banyak jiwa, bebeberapa tahun silam.

Dan belakangan tindakan-tindakan teror tersebut untuk sebagiannya masih menggunakan retorika-retorika jihad dan kesyahidan. Berangkat dari peristiwa-peristiwa tersebut, barangkali kita perlu sejenak bertanya: “Benarkah tindakan-tindakan bunuh diri dan serentetan peristiwa-peristiwa kekerasan itu sejalan dengan semangat dan doktrin Islam? Benarkah kata dan terminologi jihad dan kesyahidan hanya dimaksudkan dalam konteks-konteks peperangan fisik, dan bukan yang lebih bermakna kultural dan intelektual?”

Namun, sebelum kita menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, ada baiknya kita mempertimbangkan apa yang pernah dikatakan Akbar S. Ahmed sejauh menyangkut tantangan ummat Islam saat ini. Di abad 21, demikian tulis Ahmed dalam bukunya yang berjudul Posmodernisme, Bahaya dan Harapan bagi Islam (Mizan, 1993), interaksi dan bahkan konfrontasi antara Islam dan Barat melahirkan dilemma internal di antara keduanya, dan khusus bagi kaum muslim itu sendiri adalah bagaimana melestarikan esensi pesan-pesan Al-Qur’an tanpa harus sekedar mereduksinya hanya semata-mata nyanyian usang dan hampa dalam adaptasinya dengan konteks kekinian ummat Islam itu sendiri.

Juga bagaimana, lanjut Ahmed, kaum muslim dapat berpartisipasi dalam peradaban global tanpa harus menghapus identitas mereka sebagai muslim. Dengan kata lain, ummat Islam mau tak mau dan tak mungkin menghindarinya telah berada di persimpangan jalan, berada dalam dilemma bagaimana mendayagunakan vitalitas dan komitmen keimanan dan keislaman mereka dalam memenuhi tujuan mereka di pentas dunia tanpa harus meninggalkan Islam itu sendiri.

Karikatur untuk Palestina


Oleh Sulaiman Djaya (Pembaca Khazanah Pemikiran & Kebudayaan) –  https://liputan9.id/karikatur-untuk-palestina/

Saya selalu kagum kepada pekerja seni dan pegiat budaya yang masih mengkontekskan karya-karya mereka pada kenyataan keseharian kehidupan manusiawi. Menghasilkan karya-karya yang tidak tercerabut dari realitas, merefleksikan kehidupan melalui estetika. Termasuk dalam seni visual, para seniman visual dan para perupa yang bergelut dengan diri mereka sendiri dan kehidupan kesekitaran mereka yang melatih dan mengasah kepekaan mereka. Bahwa seni adalah juga refleksi dan tanggapan atas situasi dan keadaan. Laku yang dulu dan saat ini dimuliakan mereka yang berpandangan dan berkeyakinan bahwa seni tak hanya semata untuk seni, tapi juga untuk kehidupan kesekitaran kita. Tidak menabukan diri untuk merefleksikan keprihatinan sosial-politik lewat seni.

Kekaguman saya, dalam konteks ini, kepada para seniman karikatur di era digital dan IT kita saat ini, ketika mereka kehilangan ruang-ruang di media cetak, yang ruang-ruang untuk karikatur di media-media cetak, semisal koran dan majalah (yang masih eksis dari era 1980an-2000an) silam itu tapi kemudian redup dan hilang, membuat para seniman visual (semisal para seniman karikatur) mengalihkan diri ke ruang-ruang mayantara (ruang-ruang digital), yang acapkali diriuhkan kedangkalan atau banalitas hingga kepalsuan dan maraknya penjiplakan. Sebab, saat ini, hingga karya seni dan kerja estetik sekalipun bisa menggunakan aplikasi yang disediakan pasar aplikasi digital.

Merenungi puluhan karya-karya visual (sketsa, karikatur, gambar) karya Indra Kusumah dalam antologi karikatur bertajuk Gaza, semakin menegaskan bahwa seni perlu terlibat dan menyuarakan nurani kemanusiaan tanpa batas –melampaui batas dan sekat geografis dan geopolitik. Memihak dengan gamblang kepada Palestina yang menjadi korban keserakahan korporasi dan unipolarisme politik Barat yang digerakkan oleh motif imperialisme mutakhir zaman kita. Para seniman di berbagai belahan dunia lain pun melakukan hal yang sama, dari ragam gagrak seni. Dari para bintang papan atas dunia hiburan dan industri budaya hingga kritikus seni dan budaya, sama-sama sepakat bahwa terkait luka dan nestapa Gaza, Palestina adalah juga luka dan nestapa kemanusiaan kita.

Dalam konteks itu, seni visual karikatur dan kartun adalah kritik dan perlawanan yang mempraktikkan modus satir dan ironi, acapkali dibumbui humor, demi memunculkan kepekaan reseptif dan kemudian melahirkan keberpihakan dari para penyimak dan penikmatnya kepada isi dan isu yang diangkat dan dikandung, disampaikan oleh karikatur itu sendiri. Yang lainnya berpendapat bahwa karikatur atau pun kartun merupakan seni visual yang sengaja mengarahkan diri sebagai sebuah seni visual yang lucu yang sarat komedi dan parodi.

Tentu saja, humor, sindiran atau satir, komedi dan parodi yang disampaikan atau dikomunikasikan lewat karya-karya seni visual sudah dengan sendirinya terkait dengan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan keseharian kita, dalam sejarah kita, yang dirasa tidak baik, merusak, dan perlu dikritik atau dilawan. Inilah modus kritik dan perlawanan para seniman, yang dalam konteks para seniman visual tentu saja melalui karya-karya seni visual mereka, seperti karikatur. Yang dikritik dan dilawan bisa apa saja, yang dirasa tidak baik dan merusak kemanusiaan kita: praktik politik, keserakahan, kecurangan ekonomi, penindasan, pembunuhan keji dan lain sebagainya, seperti genosida yang menimpa Gaza, Palestina oleh Israel yang didukung Barat, yang menyentak nurani kita, sebab hukum dan lembaga internasional seperti PBB, ternyata juga tidak berdaya mencegah praktik genosida tersebut. Bagi siapa pun yang berminat mengapresiasi karya-karya seni visual yang mengangkat isu kemanusiaan kita saat ini, seperti genosida yang menimpa Gaza oleh Israel yang didukung Barat, akan bertambah kepekaan manusiawinya. Kepekaan dan solidaritas yang berabad-abad silam disuarakan Sa’di dari Persia lewat puisinya (yang kini disematkan di Gedung PBB) itu: “Anak adam satu raga, satu jiwa. Bermula dari asal yang sama. Sesiapa tak merasakan nestapa sesama, tak layak menyandang nama manusia.”