Arsip Tag: Palestina

Zionis Sawo Matang


Oleh: Sulaiman Djaya – https://liputan9.id/zionis-sawo-matang/

Di negeri kita, Indonesia, ada orang-orang, beberapa diantara mereka adalah lulusan Amerika bersama kaum evangelis, yang berpihak kepada Israel. Orang-orang yang ironisnya adalah mereka yang acapkali mengklaim diri sebagai penyuara HAM, namun berpihak kepada pelanggar HAM paling keji di dunia: Israel. Mereka itulah, juga beberapa kaum evangelis Indonesia, yang lazim disebut Zionis Sawo Matang (ZSM), semisal Luthfie As-Syaukani (pendiri Jaringan Islam Liberal) dan Monique Rijkers, yang opini-opini mereka kerapkali dianggap sebagai celoteh para buzzers.

Dalam realitas hidup, ironi dan keragaman memang selalu ada. Misalnya, Kristiani di Palestina melakukan perlawanan kepada Israel, tetapi tidak sedikit Kristiani di Indonesia yang pro Israel, yah karena mereka, salah-satunya, terhasut gerakan evangelis, sebagaimana banyak Kristiani di Amerika pro Israel karena selalu didoktrin oleh para pemimpin evangelis mereka bahwa Israel adalah bangsa pilihan Tuhan dan Palestina adalah negeri yang dijanjikan Tuhan untuk Israel.

Namun sesungguhnya, kita pun tidak boleh abai, bahwa tidak semua Yahudi pendukung Israel dan Zionisme, respon keagamaan di kalangan Yahudi sendiri terhadap Zionisme dan negara Israel memiliki banyak varian:

Pertama, kelompok penentang keras Zionisme, seperti The Haredim Movement dan Neturei Karta. Kelompok Haredim ini memandang bahwa tanah Israel memang dijanjikan Tuhan untuk mereka, di mana tanah tersebut kemudian dicabut oleh Tuhan dari mereka karena ketidakpercayaan atau pengingkaran orang-orang Yahudi sendiri terhadap perjanjian dengan Tuhan. Di sini, dikatakan misalnya, jika Yahudi menaati Taurat, maka Tuhan akan mengembalikan tanah itu kepada Yahudi. Sedangkan orang-orang Yahudi Neturei Karta memandang bahwa negara Israel adalah produk dari Zionisme tak bertuhan (Godless Zionism) alias orang-orang ateis yang mengklaim diri sebagai penganut dan keturunan Yahudi. Orang-orang Yahudi Neturei Karta adalah kelompok anti-Zionis, orang-orang Yahudi ultra-ortodoks, yang tidak mengakui negara Israel dan secara konsisten menentang negara Yahudi ini. Kelompok ini mendukung perjuangan Palestina dan menyerukan internasionalisasi Kota Jerusalem.

Kedua, kutub dan kelompok keagamaan Yahudi yang berlawanan dengan kelompok Haredim dan Neturei Karta, seperti Gush Emunim. Berbeda dengan Neturei Karta dan Haredim, kelompok ini memberikan biaya kepada para pemukim Yahudi di Tepi Barat, setelah kemenangan Israel dalam perang tahun 1967, yang dikenal sebagai Perang Arab-Israel itu. Mereka juga menyatakan bahwa mereka kembali ke area tertentu untuk mempromosikan kehidupan Yahudi. Nah, menurut mereka, cara ini akan mempercepat kedatangan Sang Messiah, atau yang dalam bahasa Arab disebut sebagai al Masih.

Dan Ketiga, adalah orang-orang Yahudi yang dapat dikatakan sebagai kelompok di antara kedua kutub tersebut, yaitu kelompok-kelompok Yahudi yang memberikan dukungan kepada negara Israel, tetapi tidak melihatnya dari sudut keagamaan. Pendirian negara Israel, menurut mereka, bukanlah tanda-tanda akan datangnya Sang Messiah. Namun, mereka mendukung pemukiman Yahudi dan menentang pengembalian wilayah itu kepada Palestina.

Selanjutnya, di antara orang-orang Yahudi kelompok tengah ini adalah orang-orang Yahudi yang disebut sebagai “Mainstream Religious Zionists”, yang salah satu tokohnya adalah Rabbi Meimon (1875-1962) yang pernah menyatakan bahwa “Negara Ibrani harus didirikan dan dijalankan sesuai prinsip agama Ibrani, yakni Torah Israel. Keyakinan kita sudah jelas: sejauh yang kita, para penduduk, memahaminya, agama dan negara saling membutuhkan satu sama lain” (Lihat Pilkington, Judaism, halaman 249-250).

Kutub kelompok Yahudi lain yang terbilang sangat keras dalam klaim keagamaan, misalnya, diwakili oleh kelompok Kach, bentukan Rabbi Meir Kahane. Inilah kelompok Yahudi garis keras yang sangat terkenal ketika salah seorang aktivisnya, Yigal Amir, membunuh Yitzak Rabin, pada 4 November 1995. Yigal Amir sendiri adalah mahasiswa Universitas Bar Ilan dan aktivis kelompok sayap kanan Eyal, sebuah kelompok garis keras yang mengikuti ajaran Meir Kahane. “Saya bertindak sendiri atas perintah Tuhan, dan saya tidak menyesal,” tandas Yigal Amir, setelah menembak Yitzhak Rabin kala itu. Amir mewakili ekstremis Yahudi, yang menentang penyerahan wilayah Tepi Barat ke Palestina. Sebab, sesuai ajaran Rabbi Meir Kahane, Tepi Barat merupakan inti dari Eretz Israel yang sudah dijanjikan oleh Tuhan dan khusus diperuntukkan bagi bangsa Yahudi. Benarkah demikian? Ternyata tidak semua orang Yahudi sepakat dengan klaim Rabbi Meir Kahane itu.

Israel Sebagai Negara Rasialis

Kita juga tidak buta ketika pada kenyataannya istilah “Jewish State” memang menunjukkan negara Israel merupakan negara yang rasialis. Karena itulah, di antara cendekiawan Yahudi kemudian banyak yang menentang negara Israel, misalnya saja Dr. Israel Shahak, tak lain karena sifat-sifat agressif dan diskriminatifnya Negara Israel. Dr. Israel Shahak mencatat: “Dalam pandangan saya, Israel sebagai negara Yahudi membawa bahaya tidak saja bagi dirinya sendiri dan bagi warganya, tetapi juga bagi semua bangsa dan negara lain, baik di Timur Tengah maupun di luarnya.”

Dr. Israel Shahak menyebut contoh, bagaimana sampai tahun 1993 Partai Likud menyetujui usul Ariel Sharon agar Israel menentukan perbatasannya berdasarkan Bible. Padahal, bagi Zionis maksimalis, wilayah Israel Raya (Eretz Yizrael) itu meliputi: Palestina, Sinai, Jordan, Suriah, Lebanon, dan sebagian Turki. Shahak juga menguraikan berbagai sikap diskriminatif Israel terhadap warga non-Yahudi (Lihat Israel Shahak, Jewish History, Jewish Religion 1999:2, London, Pluto Press, 1994, halaman 2, 10).

Tak hanya Dr. Israel Shahak, Roger Friedland dan Richard Hect, dalam bukunya, To Rule Jerusalem, menyebutkan bahwa sejak awalnya Yahudi memang tidak pernah sepakat terhadap Zionisme. Para penentang Zionisme ini beralasan bahwa Judaisme adalah agama, dan bukan satu bangsa. Sebagian besar Yahudi religius yang mengunjungi Jerusalem sebelum para Zionis juga memandang bahwa suatu negara sekular dan demokratis bagi Yahudi adalah satu ‘anathema’ atau barang haram. Dengan demikian, motif dan ideologi zionisme memang murni sekular, dengan membajak klaim religius demi mendapatkan legitimasi.

Dan anehnya lagi, ada juga di bangsa kita anak-anak muda yang menjadi pemuja Yahudi karena inferiority mental mereka dan mempercayai klaim-klaim rasis bertopeng religius dan keagamaan hingga kehilangan kepekaan mereka pada realitas kemanusiaan. Padahal, sebagai manusia, kita bermula dari asal yang sama dan bisa merasakan luka dan kepedihan yang sama bila dianiaya atau dipersekusi oleh sesama manusia.

Hizbullah, HAMAS, Ansarullah


Oleh: Sulaiman Djaya –  https://liputan9.id/hizbullah-hamas-ansarullah/

Ketiganya jadi bahan ulasan influencer dan netizen di ragam platform media sosial dunia saat ini terkait kerjasama regional mereka menghadapi invasi Israel yang didukung Amerika, NATO dkk di Asia Barat (Timur Tengah). Terlebih ketika Israel melakukan genosida di Gaza, Palestina, yang mendatangkan kecaman massif warga dunia.

Dan yang menarik, ketiga gerakan perlawanan beda mazhab itu sama-sama mendapatkan dukungan senjata dan finansial dari Iran (yang juga dibantu Suriah). Keduanya (Iran dan Suriah) bertolak-belakang dengan Amerika dan NATO dalam politik global. Meski khusus HAMAS, adakalanya mendapatkan dukungan finansial dari Qatar, satu-satunya Negara Arab yang relatif tidak selaras dengan Saudi Arabia dkk dalam kaitannya dengan orkestrasi yang dipimpin Amerika di politik global.

Hizbullah (Libanon) pimpinan Sayid Hasan Nasrallah dan Ansarullah (Yaman) pimpinan Sayid Badruddin Houthi yang keduanya Syi’ah bekerjasama dengan HAMAS Palestina yang Sunni menghadapi agresi dan invasi Israel yang didukung Barat (Amerika, NATO dan proksi mereka, yaitu sejumlah Negara Arab).

Paska peristiwa 7 Oktober 2023 yang disusul dengan genosida yang dilakukan Israel atas warga Gaza yang menuai kecaman warga seluruh dunia, HAMAS konsisten melakukan perlawanan terhadap tentara pendudukan Israel. Sementara Hizbullah melancarkan serangan terhadap sejumlah barak militer Israel di beberapa tempat semisal di perbatasan Libanon, seperti Barak Militer Branit.

Sementara itu, Ansarullah dan juga militer Yaman, semisal Angkatan Laut Yaman, menyandera kapal kargo milik Israel di Laut Merah, bahkan menghancurkan kapal yang membawa suplai bahan bakar untuk Israel serta menyasar kapal Amerika yang mendukung Israel serta kapal-kapal lainnya yang terkoneksi dengan kepentingan Israel dan Barat. Tekanan militer Yaman (yang terkoneksi dengan Iran) itu setidak-tidaknya berhasil menekan Israel dan Barat hingga mereka melonggarkan masuknya bantuan kemanusiaan untuk Palestina. Benar pemeo lama: tidak ada diplomasi bagi bangsa yang lemah.  

Kekompakan dua gerakan perlawanan Islam Syi’ah itu sepertinya memang terkoneksi dengan Iran yang sudah bukan rahasia lagi sebagai Negara pendukung persenjataan dan finansial bagi gerakan perlawanan terhadap Israel, Amerika, NATO dkk. di Asia Barat. Wajar bila Amerika dan NATO mencurigai Iran terlibat dalam usaha militer melawan Israel di Asia Barat tersebut.

Secara historis, Iran paska Revolusi Islam 1979 memang mengambil kebijakan anti Barat, berubah 180 derajat dari era Pahlevi yang pro Israel dan Amerika. Ayatullah Khomeini bahkan mengeluarkan fatwa: wajib membantu Palestina. Tapi yang paling menarik saat ini adalah solidaritas massif warga dunia kepada Gaza, Palestina, termasuk para selebriti dan figur publik lainnya, hampir di seluruh Negara di semua benua.   

Fenomena solidaritas massif warga dunia itu menyadarkan kita bahwa boleh saja kebohongan dan propaganda Israel, Amerika, NATO dkk dimassifkan melalui media-media mainstream Barat, namun pada akhirnya media sosial yang dijangkau miliaran manusia dalam genggaman tangan mereka menghadirkan fakta-fakta yang jauh lebih nyata ketimbang framing dan hoax media mainstream Barat. Singkatnya, warga dunia tak lagi bisa dibohongi.  

Di sisi lain, kita harus mengakui bahwa PBB didominasi kepentingan Barat, terlebih tiga dari lima pemilik hak veto adalah Barat, sisanya ada di Cina dan Rusia. Dan yang belum lama, Amerika memveto resolusi gencatan senjata antara Israel dan HAMAS yang diusulkan dan digagas mayoritas anggota PBB. Di tengah fungsi PBB yang tidak bisa diharapkan sepenuhnya, daya tawar diplomasi memang hanya bisa diraih dengan kekuatan fisik dan militer. Inilah barangkali yang sepenuhnya disadari Iran melalui proksinya semisal Hizbullah dan Ansarullah.

Yang tak kalah menarik adalah isu yang juga menyebar: bahwa Israel dan Barat sejatinya memang punya keinginan untuk menggusur dan menghilangkan penduduk Gaza dari wilayah Gaza untuk memuluskan rencana mega proyek mereka, yaitu membangun Kanal Ben Gurion, terlebih Terusen Suez dirasa sudah sumpek alias overload.

Nyatanya, isu tersebut dibenarkan oleh dua utusan (warga) Palestina yang menyambangi DPR RI dan mereka menyampaikan bahwa serangan HAMAS terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 lalu didukung mayoritas warga Palestina karena Israel dan Barat memang berencana untuk merelokasi dan memindahkan seluruh penduduk Gaza ke Sinai. Selain karena tentara pendudukan Israel telah berulang kali menodai Al-Aqsha. Dan karena itu para pejuang Palestina mau tidak mau harus melawan agar mereka tidak dimusnahkan seperti halnya puluhan juta bangsa Indian di Amerika yang dibantai para pendatang Eropa secara bertahap tapi pasti, dan hasilnya: seluruh tanah yang mereka tempati berhasil diduduki para pendatang Eropa.    

Tidak sedikit analis militer dan pakar geopolitik dunia yang menyatakan bahwa bukan hal yang tidak mungkin konflik antara tentara pendudukan (penjajahan) Israel dengan HAMAS memancing konflik regional yang lebih luas mengingat banyak aktor non-negara seperti Hizbullah dan Ansarullah yang mendapat dukungan Iran dan Suriah dan di lapangan medan tempur ternyata acapkali lebih cerdas dan lebih kuat ketimbang para tentara Israel yang diklaim sebagai militer terbaik.

Dan bila eskalasi itu benar-benar terjadi dan meluas, demikian menurut sejumlah analis militer dunia, bukan tidak mungkin Israel akan mengalami kekalahan sebab sebelum-sebelumnya Israel juga tidak pernah menang melawan paramiliter Islam Syi’ah yang didukung Iran: Hizbullah.

Tak ketinggalan, ada sesuatu yang lucu, yaitu ketika HAMAS meluncurkan rudal-rudal optic kosong yang super murah demi memperdayai Iron Dome Israel yang super mahal. Hasilnya: anggaran militer Israel terkuras untuk perang melawan paramiliter yang justru anggarannya jauh di bawah mereka. Belum lagi ketika Israel dipusingkan dengan terowongan HAMAS yang diarsiteki almarhum Jenderal Qasem Soleimani, Komandan Al-Quds Iran, yang menjadi kelebihan HAMAS hingga para pejuang HAMAS sulit ditebak dan diprediksi. Terowongan itu ternyata rumit dan canggih.

Para pakar menilai, melalui Hizbullah Libanon (Syi’ah), HAMAS Palestina (Sunni) dan belakangan Ansarullah Yaman (Syi’ah), Iran sedang memperingatkan Amerika dan NATO bahwa mereka bisa menerapkan metode perang yang selalu baru dan tidak bisa ditebak oleh Barat. Juga sedang memperingatkan Amerika dan proksi Barat-nya bahwa bukan tidak mungkin peta dunia kembali normal, yaitu ketika tidak ada Israel di peta dunia.