Arsip Tag: Sains

Apa Sains Itu?


Oleh: Sulaiman Djaya – https://www.bantennews.co.id/apa-sains-itu/

Sains dan filsafat, dalam sejarah peradaban manusia, bisa dikatakan lahir dari rahim yang sama: rasa ingin tahu dan kebutuhan untuk menyelesaikan ragam persoalan kehidupan manusia.

Cita-cita saya sendiri sewaktu masih seorang siswa sekolah dasar adalah menjadi ilmuwan dan penemu, bukan penulis puisi, yang sesekali menulis kritik sastra, otobiografi, esai bebas, dan beberapa cerita pendek yang biasa saja atau sekedarnya. Cita-cita itu sesungguhnya dipengaruhi oleh beberapa buku tentang para penemu yang saya baca. Atau barangkali karena memang saya ingin jadi ilmuwan, maka saya membaca buku-buku para penemu. Saat itu saya sudah berpikir betapa berjasanya mereka bagi kehidupan, menjadi orang-orang yang berguna dan bermanfaat. Namun tentu saja belum terpikir oleh saya tentang apa itu sains? Imajinasi saya tentang sains baru terbentuk ketika saya memasuki masa belajar di sekolah menengah: berkat sejumlah mata pelajaran eksakta, yang nilainya tidak terlalu bagus tapi juga tidak buruk, di kisaran antara 7 dan 8.

Dan tentu saja imajinasi itu berkembang ketika saya mulai mengembarai ragam buku dan tulisan yang ditulis oleh para filsuf dan ilmuwan, dan juga tentu saja para pemikir cum sastrawan, terutama ketika saya mendapatkan kesempatan untuk ikut duduk di ruang kelas di sebuah perguruan tinggi di Jakarta, meski sesungguhnya khazanah dan bacaan saya lebih banyak didapatkan secara otodidak di luar ruang kelas. Bahkan hingga saat ini pengetahuan saya diperoleh melalui pembelajaran mandiri tersebut, dari mulai membaca tulisan-tulisan dan buku digital, media massa cetak, dan tentu saja buku-buku cetak. Di masa-masa itu, saya bahkan membaca tulisan-tulisan kaum biologis ateis yang rata-rata kaum darwinis, sebelum akhirnya merambah juga ke tulisan-tulisan dan buku-buku filsafat yang ditulis para penulis dan filsuf Syi’ah.

Bila kita sarikan, katakanlah kita ringkaskan dari ragam pandanggan para filsuf dan ilmuwan, apa yang kita namakan sains sesungguhnya adalah tubuh pengetahuan (body of knowledge) yang muncul dari pengelompokkan secara sistematis dari berbagai penemuan ilmiah sejak jaman dahulu, semisal sejak era Yunani hingga masa Islam Arab-Persia (Abbasiah), yang dalam hal ini biasa disebut sains sebagai produk. Produk yang dimaksud adalah fakta-fakta, prinsip-prinsip, model-model, hukum-hukum alam, dan berbagai teori yang membentuk semesta pengetahuan ilmiah yang biasa diibaratkan sebagai bangunan dimana berbagai hasil kegiatan sains tersusun dari berbagai penemuan sebelumnya.

Sejalan dengan hal itu, sains juga bisa berarti suatu metode khusus untuk memecahkan masalah, atau biasa disebut sains sebagai proses. Sejumlah usaha untuk mengatasi persoalan-persoalan kehidupan manusia yang perlu mendapatkan solusi dan jawaban untuk kebtuhan hidup manusia. Dalam hal ini apa yang kita sebut ‘Metode Ilmiah” merupakan hal yang sangat menentukan. Tepat di sinilah, sains sebagai proses inilah yang sudah terbukti ampuh memecahkan masalah ilmiah yang juga membuat sains terus berkembang dan merevisi berbagai pengetahuan yang sudah ada. Dan semestinya tidak menjadi dogma (yang haruslah jujur diakui) menjadi kekeliruan kaum ateis yang menjadi kaum fundamentalis dalam ranah sains.

Tentu saja yang tak bisa dilupakan, sains juga bisa berarti suatu penemuan baru atau hal baru yang dapat digunakan setelah kita menyelesaikan permasalahan teknisnya, yang tidak lain biasa disebut oleh kebanyakan orang sebagai tekhnologi. Meski cara berpikir tekhnologis ini dikritik oleh para filsuf, seperti oleh Heidegger, yang menurutnya membuat manusia dikerangkeng oleh apa yang mereka ciptakan sendiri, dan juga dianggap sebagai paradigma berpikir yang menyumbang bagi kerusakan lingkungan dan eksploitasi yang berdampak pada krisis ekologis. Meski demikian, terlepas dari sejumlah kritik itu, tekhnologi merupakan suatu sifat nyata dari aplikasi sains, suatu konsekuensi logis dari sains yang mempunyai kekuatan untuk melakukan sesuatu. Contohnya membantu dan mempermudah kerja manusia dalam hidup sehari-hari hingga memajukan dan mengembangkan industri. Persis dalam hal inilah, biasanya salah satu definisi populer tentang sains termasuk juga teknologi di dalamnya.

Secara historis, sejarah perkembangan sains sendiri menunjukkan bahwa sains berasal dari penggabungan dua tradisi tua: yaitu filsafat, seperti yang telah disebutkan, dari Yunani hingga Islam era Arab-Persia (Abbasiah), dan tradisi keahlian atau keterampilan tangan yang berkembang di awal peradaban manusia yang telah ada jauh sebelum tradisi pertama lahir. Dari sejak era Babilonia, Mesopotamia, Persia hingga peradaban ukir dan tekhnik Nusantara (Asia Tenggara). Filsafat memberikan sumbangan berbagai konsep dan ide bagi sains sedangkan keahlian tangan memberinya berbagai alat untuk pengamatan alam.

Sumbangan konsep dan ide dalam sains terbukti telah banyak mengubah pandangan manusia terhadap alam sekitarnya, terhadap lingkungannya, hingga seperti yang kemudian menjadi kritiknya, menaklukkan alam dan lingkungan. Contoh yang paling terkenal adalah Teori Relativitas-nya Albert Einstein. Teori Relativitas Umum ini misalnya telah mengubah pandangan orang secara drastis akan sifat kepastian waktu serta sifat massa yang dianggap tetap. Disamping kekuatan konsep dan ide, melalui keampuhan alat dan telitinya pengamatan, kegiatan sains juga terbukti menjadi pemicu berbagai revolusi ilmiah. Sebut saja pengamatan bintang-bintang oleh Edwin Hubble melalui teleskop di Gunung Wilson pada tahun 1920-an, sebagai contohnya, yang membawa beberapa implikasi seperti adanya galaksi lain selain Bimasakti dan adanya penciptaan alam semesta secara ilmiah dengan makin populernya teori ledakan besar atau Dentuman Akbar (Big Bang).

Dan di atas semua itu yang tak boleh dilupakan, teori-teori dalam sains terus berkembang dengan pesatnya, menggantikan berbagai teori yang ternyata terbukti keliru setelah melalui konfirmasi percobaan ataupun memperbaiki dan melengkapi teori yang telah ada sebelumnya. Thomas S. Kuhn dan Karl Raimund Popper telah menjelaskan dan mencontohkannya dengan sangat baik bahwa acapkali perkembangan sains lahir dan diterima setelah membuktikan kekeliuran kerja dan teori sains sebelumnya. Metode Ilmiah Popper sendiri lazim dikenal sebagai verifikasi dan falsifikasi. Di sini, suatu teori adalah suatu konstruksi yang biasanya dibuat secara logis dan matematis yang bertujuan untuk menjelaskan fakta ilmiah tentang alam sebagai mana adanya. Suatu teori yang baik harus mempunyai syarat lain selain dapat menjelaskan, yaitu dapat memberikan adanya prediksi (sanggup meramalkan); contohnya dengan pertanyaan: ‘Bila saya melakukan hal ini apa yang terjadi?”

Sebagai contoh, teori kuno (dari filsuf Yunano kuno) yang menyatakan alam ini terdiri dari empat unsur yaitu tanah, udara, api dan air memenuhi syarat dapat menjelaskan komposisi alam, namun gagal bila mencoba memperkirakan dari mana semua unsur itu berasal dan bagaimana interaksinya dalam mahluk hidup, misalnya. Sedangkan Teori Relativitas Umum-nya Einstein selain bisa menjelaskan bagaimana gaya gravitasi bekerja dan pergerakan benda langit secara tepat dibanding hukum gravitasi Newton, ternyata juga bisa memprediksi (meramalkan) adanya pembelokan cahaya bintang oleh matahari karena kuatnya gaya gravitasi dan hal itupun telah sukses dibuktikan.

Namun, seperti telah banyak terjadi dan diakui, acapkali teori juga tidak bisa berbuat banyak karena konsekuensinya terlalu rumit bahkan untuk sekedar diramalkan. Untuk mengatasi hal ini para ilmuwan mengembangkan apa yang disebut dengan model. Model merupakan penyederhanaan dari suatu teori yang menjelaskan alam semesta misalnya secara lebih mudah akan satu aspek tertentu, namun menghilangkan aspek lainnya. Model berguna karena perilakunya yang cukup sederhana untuk dipahami dan diramalkan, meskipun model terkadang bisa menjadi tidak terlalu berguna karena banyak hal tidak berhubungan langsung dengan kenyataannya.

Model atom merupakan salah satu contoh keterbatasan model yang terjadi dalam sejarah ilmu pengetahuan modern yang biasa disampaikan guru atau pengajar pada siswa pada pelajaran kimia dan fisika. Dimulai dengan model atom seperti bola yang dikemukakan oleh John Dalton. Model bola pada abad ke-19 direvisi oleh J.J. Thomson dari penelitiannya tentang sinar katoda, dimana dia mengusulkan model atom berbentuk seperti roti kismis dimana bola bermuatan positif (roti) yang ditempeli oleh elektron (kismis) yang bermuatan negatif. Di awal abad ke-20, sebagai contoh lainnya, Rutherford mengusulkan model bahwa atom hampir mirip ruang kosong dengan inti yang merupakan pusat massa berisi proton dengan elektron berada pada orbit (tidak menempel seperti kismis seperti pada model Thomson) berdasarkan percobaannya yang menembakkan sinar alfa pada lempeng emas, yang lalu dikembangkan lagi oleh Bohr dengan model atom mekanika gelombang dimana orbit menjadi orbital dan kemudian hilangnya sifat partikel dari elektron dan lebih bersifat gelombang.

Perkembangan teori atom itu memberikan kita contoh nyata tentang tentatifnya suatu teori dalam ilmu pengetahuan (sains). Mengapa hal yang demikian bisa terjadi? Tak lain disebabkan karena teori-teori atau hukum-hukum alam dalam sains adalah suatu generalisasi atau ekstrapolasi dari pengamatan, dan bukan pengamatan itu sendiri. Sedangkan pengamatan itu sendiri selalu tidak akurat atau tidak menjelaskan semua aspek yang seharusnya diamati. Apa yang dijelaskan dengan model atom Thomson contohnya, hanya berdasar pengamatan dari percobaan sinar katoda saja, di mana kemudian model ini direvisi oleh Rutherford setelah dia membuktikan keberadaan inti. Sehingga unsur ketidakpastian dan kerelativan menjadi hal yang penting dalam ilmu pengetahuan modern yang membuatnya terus berkembang.

Menyadari hal demikian, tak heran jika tak sedikit ilmuwan yang kemudian menjadi rendah hati di saat tak sedikit juga malah menjadi dogmatis, semisal sejumlah oknum kaum biolog darwinis ateis. Barangkali, seorang ilmuwan yang baik pada akhirnya adalah seorang filsuf yang baik yang tak henti untuk meragukan dan bertanya dan ikhtiar ilmiahnya senantiasa disemangati untuk terus bertanya pula.

Opini Koran Kabar Banten 29 Desember 2023


Pentingnya Imajinasi

Oleh: Sulaiman Djaya (Pekerja Budaya)

Telah terbukti dalam sejarah peradaban manusia, imajinasi melahirkan inovasi dan menggerakkan kerja intelektual dan kebudayaan.

Dalam Fisika Star Trek-nya, Lawrence M. Krauss menulis: “Ilmu fisika maju bukan karena revolusi yang segala-segalanya serba baru, tetapi lebih bersifat evolusi yang memanfaatkan hal-hal terbaik yang sudah diketahui sebelumnya”.

Tentu saja yang ditulis Krauss tersebut tentang kesinambungan sains modern saat ini setelah sains Barat bercerai dengan dogma gereja –yang menurut para fisikawan dan ilmuwan kala itu lebih mirip dengan takhayul. Sebab, haruslah diakui, pernah ada suatu jaman di Barat sana (Eropa), yang lazim dikenal sebagai Era Kegelapan atau Jaman Inkuisisi, di mana para filsuf dan ilmuwan yang kebetulan meragukan dogma gereja, dapat dikatakan telah membangun fondasi yang terbilang cukup revolusioner untuk ukuran jaman atau untuk kadar era itu, yang akhirnya membuka cahaya gerbang baru bagi sains modern.

Dengan kata lain, selain karena evolusi yang berkelanjutan, sains khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya, dalam beberapa kasus, melakukan terobosan-terobosan yang revolusioner dalam mendobrak (ibarat berfilsafat dengan palu godam-nya Nietzsche) dogma dan paradigma lama yang menjadi rahim gelap kejumudan. Di sini, mereka melakukan pemberontakan paradigmatis untuk membuka kemungkinan dan kesempatan bagi lahirnya sains dan ilmu pengetahuan modern dari penjara dan ancaman politis dan dogmatis yang akan menghambat kemajuan sains dan ilmu pengetahuan.

Apa yang kita sebut dengan paradigma ini memang sebentuk lanskap epistemologis dan khazanah “kepercayaan” yang menjadi rahim bagi kerja dan ikhtiar saintifik, yang pada akhirnya juga menentukan apa saja yang akan ditemukan dan dihasilkan sains. Bayangkan, jika para filsuf dan ilmuwan tidak melakukan pemberontakan terhadap dogma gereja kala itu, barangkali perkembangan sains modern agak sedikit terlambat.

Soal dogma gereja yang dilawan para filsuf dan ilmuwan ini, Bertrand Russell bahkan menyatakan bahwa sejarah awal menunjukkan, bukan hanya bahwa Genesis itu a-historis, tetapi juga sebagian besar diambil atau diadopsi dari mitos-mitos Babilonia yang sebenarnya sudah basi.

Dulu, sebagai contohnya, tak ada satu pun fisikawan yang tahu dan mempercayai bahwa jagat raya berkembang dan mengembang, di mana para fisikawan dan ilmuwan umumnya masih mempercayai bahwa jagat-raya bersifat statis dan tak berubah dalam skala besar. Namun, kemudian, seorang Albert Einstein sadar bahwa jagat-raya tidak statis.

Sebelumnya, ketika Einstein masih percaya bahwa jagat-raya bersifat statis, ia mencari jalan untuk “menghentikan” proses keruntuhan semua materi jagat-raya karena gravitasinya sendiri. Saat itu Einstein mengembangkan satu terminologi yang ia sebut “Tetapan Kosmologis” –yang memperkenalkan tolakan kosmik untuk mengimbangi daya-tarik gravitasi materi pada skala besar. Akan tetapi, setelah ia tahu jagat-raya mengembang alias tidak statis, ia pun segera mengakui bahwa “Tetapan Kosmologis-nya“ itu merupakan ketololannya yang paling besar.

Salah-satu faktor, yang ternyata adalah juga faktor yang sangat kuat, bagi kesadaran Barat (Eropa) di Era Inkuisisi itu adalah terdistribusinya sains dan ilmu pengetahuan dari dunia Islam –dari para filsuf dan ilmuwan muslim. Bahkan ketika Maimonedes, sang filsuf dan ilmuwan Yahudi itu, diusir oleh Eropa dari Eropa, ia justru ditampung oleh Dunia Islam. Hanya saja, setelah Eropa berhasil menyalakan cahaya sainsnya dengan terang benderang, cahaya sains di Dunia Islam malah redup, bahkan padam.

Sebagaimana kebudayaan dan kesusastraan, eksistensi dan kemajuan sains khususnya dan ilmu pengetahuan umumnya, merupakan hasil interaksi historis, kultural, bahkan politis. Para sejarahwan, arkeolog, dan para sarjana lainnya membuktikan hal itu. Capaian kemajuan arsitektur dan sains Mesir, contohnya, dipelajari oleh Yunani dan kemudian membuat Yunani sanggup membangun mahakarya peradabannya di benua Eropa, ketika mereka belajar dari Mesir dan Babilonia, ketika mereka mengirimkan para sejarawan dan filsuf mereka ke negeri-negeri itu.

Dan saat ini, kemajuan sains khususnya dan ilmu pengetahuan umumnya, berjalan bersamaan dan beriringan dengan motif dan kepentingan industrialisasi kapitalisme dan perlombaan tekno-sains alias tekhnologi informasi, tak terkecuali perlombaan untuk meraih kemajuan tekhnologi persenjataan perang dan industri serta infrastruktur pertahanan.

Kini manusia telah sanggup menjelajahi tempat-tempat tertentu di angkasa, semisal di Bulan, mencipta bom hidrogen, rudal pintar, komunikasi langsung yang sifatnya global, kloning, nano-technology, mesin penerjemah ragam bahasa, dan lain sebagainya. Bukan tak mungkin manusia di masa depan bisa membangun rumah-rumah mengambang di udara demi mengatasi perkembangan kepadatan penduduk dan keterbatasan lahan bagi hunian, dan bersamaan dengannya, bisa menciptakan transportasi yang lalu-lalang di udara tersebut.

Contoh-contoh itu hanya ingin menyatakan bahwa hasil dari imajinasi dan kecerdasan manusiawi telah memberikan bahan dan dasar-dasar bagi kemajuan imajinasi dan kecerdasan selanjutnya –alias bagi kemajuan sains dan ilmu pengetahuan di masa depan.

Seperti telah kita ketahui, tahun sebelum masehi, bangsa Sumeria-Babilonia dan Mesir memiliki ilmu astronominya sendiri untuk mamahami alam semesta atau jagat-raya –sedangkan bangsa Yunani mengandalkan logika, dan salah-seorang dari filsuf Yunani yang pernah berkunjung ke Mesir, yaitu Pythagoras, mengikuti jejak-jejak bangsa Timur tersebut, yaitu menggunakan geometri dan matematika ketika berusaha menjelaskan alam semesta atau jagat-raya.

Capaian yang dapat dikatakan sebagai babakan revolusioner dalam sejarah sains adalah ketika Galileo Galilei menemukan alias menciptakan teleskop, meskipun kita tahu tidak secanggih teleskop di jaman ini. Namun setidak-tidaknya alat tersebut tentu saja sangat penting dalam kerja sains di abad-abad selanjutnya –yang tak lain sebagai instrument observasi langsung alias pengamatan empiris.

Di abad-abad selanjutnya, wabil-khusus di abad-20, Albert Einstein menyatakan teori tentang kekekalan energi, energi kuantum, dan partikel sub-atom, yang tak diragukan lagi, menjadi dasar bagi perkembangan astronomi, yang tak lagi berkutat pada penelitian semesta di sekitaran gugusan tata-surya (matahari dan planet-planet yang mengitarinya) semata, tapi mencoba mengetahui ke arah yang lebih jauh.

Kita tahu, sejak penemuan Efek Doppler dalam gelombang cahaya dari berbagai benda angkasa, sejak itulah diketahui bahwa alam semesta alias jagat-raya berkembang (meluas) dan bahwa nebula di dalamnya bergerak saling menjauhi dengan kecepatan yang menakjubkan –dan makin jauh jarak mereka, makin tinggi pula kecepatannya.

Penemuan-penemuan itu pun menimbulkan atau memunculkan sejumlah pertanyaan atawa kuriositas baru di kalangan ilmuwan umumnya dan fisikawan khususnya. Misalnya, apakah alam semesta atau jagat-raya tak memiliki batas? Dan jika alam semesta atau jagat-raya terus meluas alias berkembang, apakah akan meluas begitu saja tanpa henti atau tanpa akhir? Dan bila saja ada awal kapan alam semesta mulai berkembang?

Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, George Gamov dan kawan-kawan berpandangan bahwa alam semesta atau jagat-raya mulai berkembang atau meluas kira-kira dua milyar tahun lalu, yaitu ketika masih dalam keadaan aslinya, dan meskipun jagat-raya itu sendiri sudah teramat sangat luas yang tak bisa diukur oleh kita.

Dalam hal ini, ada pernyataan yang cukup enigmatik dan menggoda, yang dilontarkan seorang matematikawan bernama Herman Minkowski (sebagaimana dikutip Lawrence M Krauss dalam Fisika Star Trek-nya): “Suatu saat ruang-waktu akan semakin pudar menjadi bayangan belaka, dan hanya ada semacam ikatan antara keduanya yang bisa memelihara realitas yang independen”.

Pernyataan Herman Minkowski, sang matematikawan itu, dilontarkan di tahun 1908 –di mana di tahun itu pula Albert Einstein menemukan Relativitas Ruang-Waktu, suatu temuan yang murni mengandalkan imajinasi, bukan observasi. Dan saya pun pernah bertanya (meski hanya di dalam hati): mungkinkah alam semesta atau jagat-raya di suatu saat, entah kapan itu, akan kelelahan dan menghancurkan dirinya sendiri?