Menyoal Demokrasi (Kabar Banten 23 Januari 2024)


Oleh: Sulaiman Djaya, Esais dan Penyair

Menjelang Pilpres 14 Februari 2024 nanti, tak ada salahnya kita kembali membincang substansi demokrasi. Di sini, sepertinya kita perlu menyimak pandangan filsuf Jurgen Habermas. Sampai saat ini, pemikiran dan prasaran Jurgen Habermas tentang demokrasi konstitusional masih terasa pas dan relevan ketika berbicara bagaimana menyelenggarakan kehidupan dalam ruang publik tempat semua orang memiliki hak untuk mendapatkan kebebasan dan merasa aman.

Menurut Jurgen Habermas salah satu cara untuk meminimalisir konflik-konflik dan kekerasan yang tidak produktif dalam ruang publik adalah dengan jalan memulihkan dan menegakkan hukum itu sendiri. Yang bila mengalur pada teori tindakan komunikatif yang digagas dan ditawarkannya, kita mesti mengintensifkan dialog dan komunikasi yang dibangun di atas kejujuran dan kesetaraan sesama warga negara tanpa harus mempersoalkan latar belakang keagamaan dan identitas setiap warga negara, yang dengan itu kita menyadari bahwa kita dapat belajar untuk mengenali diri kita sebagai pelaku-pelaku atau subjek-subjek yang otonom justru hanya dimungkinkan oleh relasi dasar kita dengan orang lain. Dan relasi paling dasar tersebut tak lain adalah tindakan komunikasi melalui bahasa dalam konteks ruang publik yang tidak memberi tempat bagi kebohongan, manipulasi, dan rekayasa yang dapat merugikan.

Dengan pengandian itulah menurut Habermas praktik komunikasi rasional memberi kemungkinan terbentuknya konsensus bebas dan setara antar warga negara. Keberhasilan komunikasi rasional justru meniscayakan kebenaran dengan memaksudkan secara tepat apa yang ingin kita katakan dalam konteks ruang publik.

Semua warga negara dengan identitas apa pun memiliki hak yang sama untuk merasa bebas dan aman dalam konteks ruang publik politis yang tidak membenarkan kekerasan. Sebagaimana dipaparkan Habermas, penciptaan ruang publik dalam konteks komunitas politis republikan konstitusional hanya dimungkinkan ketika ruang publik menjadi arena pertukaran yang sungguh-sungguh demokratis dan tanpa intimidasi oleh siapa pun atau kelompok mana pun.

Pada tataran filosofis yang lebih jauh, pemikiran dan prasaran Jurgen Habermas itu sesungguhnya hendak mengoreksi dan melampaui elitisisme Immanuel Kant yang dalam pandangan Habermas masih mengandaikan dinamika lingkungan publik sebagai ungkapan ideologi dan hak prerogatif kaum borjuis yang berpendidikan dan kaya. Meskipun demikian, Habermas memaklumi kesalahan Kant tersebut sebagai produk anak jamannya yang belum berhadapan dengan percepatan kapitalisme lanjut yang mendesakkan komunikasi massa oleh industri kehumasan yang telah menggiring masyarakat kepada konsumerisme yang sedikit-banyaknya turut juga membungkam daya-kritis kognitif warga negara seperti saat ini, pada sisi negatif, dan turut juga menyebarkan wawasan kebebasan dan demokrasi pada sisi positifnya.

Ruang publik dalam arti Kantian yang dikoreksinya tersebut menurutnya harus dimengerti dalam konteks kondisi material masyarakat Barat yang belum terglobalisasikan dan terkondisikan oleh kekuasaan media massa dan masih dicirikan oleh perbedaan yang distingtif antara tataran politik dan ekonomi dalam batas dan demarkasinya, yang pada akhirnya turut juga membatasi konsepsi Kant tentang lingkungan publik yang masih dibayangkan dalam perbatasan monologis, bukannya dialogis. Monologisme Kant tersebut mengacu kepada ide yang mengandaikan partisipasi individu dalam konteks ruang publik yang masih terbatas pada definisi berbagi yang sederhana dalam kerangka opini-opini dan keputusan-keputusan moral yang sudah mapan.

Penalaran moral Kant itu sendiri masih didefinsikan sebagai percakapan hipotetis yang terlampau terpusat pada diri sendiri. Hasilnya, menurut Habermas, ada dua elemen yang meniscayakan ikhtiar kritis sejauh tilikan etis dan politis moralitas Kantian. Pertama, alam soliter imperatif di mana eksperimen mental seseorang diarahkan pada sebuah pertanyaan yang berpusat pada dirinya sendiri tentang apakah tindakan seseorang itu mengandaikan dan mendasarkan suatu prinsip yang mungkin setiap manusia yang lain akan bertindak sama dalam konteks budaya mana pun pada setiap kurun waktu dalam sejarah. Akan tetapi, dan inilah tilikan kritis yang kedua, prioritas Kantian tersebut masih mendalilkan otonomi individu sebagai sesuatu yang secara alamiah seakan-akan dianugerahkan begitu saja kepada manusia tanpa latar belakang sejarah dan budaya sebagaimana yang kemudian dikoreksi Hegel, yang menurut Habermas sendiri prioritas Kantian tersebut belum mengandaikan pertukaran dalam kerangka komunikasi-rasional.

Berangkat dari alur demikian, menjadi jelaslah bahwa ikhtiar Habermas untuk menangkap komunikasi terletak pada sebuah tataran di mana opini dan keputusan dibentuk dan disepakati melalui dialog intersubjektif yang tentu saja meniscayakan suatu pergeseran radikal untuk menjauh dari paradigma monologisme Kantian yang masih terpusat pada subjek. Komunikasi intersubjektif ini merupakan tawaran prasaran Habermas bagi suatu mekanisme dan prosedur untuk menghasilkan keputusan-keputusan politik dari partisipasi warga negara dalam konteks lingkungan publik politis yang tanpa tekanan, bebas, dan setara. Kebijakan politik harus melibatkan pandangan dan pendapat warga Negara.

Dalam kerangka itu pula, Habermas menegaskan bahwa satu-satunya artikulasi yang sah tentang identitas politis sebuah bangsa adalah patriotisme konstitusional, di mana kesetiaan kepada konstitusi merupakan bukti untuk partisipasi seluruh warga negara berdasarkan konsensus. Dan kesetiaan ini pada akhirnya mengungkapkan loyalitas kepada ide hak-hak universal yang menurutnya merupakan kondisi bagi koeksistensi manusia terutama dalam masyarakat yang kompleks dan plural, atau yang disebutnya sebagai situasi epistemik masyarakat modern.

NIAI Penting Masyarakat Sipil

Kita juga patut bertanya: Apakah demokrasi terletak pada pemerintah (rezim) atau masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam salah-satu ceramahnya di California University pada tahun 1963 dengan mengutip tulisannya Alexis De Tocqueville, Raymond Aron mengingatkan kita bahwa demokrasi tak semata didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan atau watak sebuah rezim politik, tetapi lebih pada suatu keadaan masyarakat.

Jauh sebelumnya, hal senada telah ditekankan Abraham Lincoln yang memperjuangkan esensi republikanisme dari demokrasi ketika ia mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dan kiprah politik dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, yang dengan definisi tersebut Abraham Lincoln lebih menekankan peran aktif masyarakat dan warga negara untuk mengawasi pemerintah dari kebijakan-kebijakan yang membahayakan negara yang akan berimbas pada rakyat dan warga negara. Dalam hal ini, ketercerahan dan partisipasi masyarakat dan warga negara merupakan prasyarat utama bagi sehatnya demokrasi.

Jika demikian, secara substansial demokrasi meniscayakan kesiapan dan keberdayaan masyarakat secara politis dan kultural sebagai partisipan utama dan sebagai penentu utama baik-buruknya penyelenggaraan demokrasi itu sendiri: apakah sebuah negara atau pemerintahan yang mengklaim demokratis berjalan dengan baik ataukah sebaliknya?

Apa yang dinyatakan dan ditegaskan Abraham Lincoln dan Alexis Tocqueville, dan kemudian disuarakan ulang oleh Raymond Aron tentang pentingnya demokrasi dipahami sebagai suatu ‘keadaan masyarakat’ itu sesungguhnya dalam rangka menjawab para filsuf Yunani seperti Sokrates dan Plato yang sangsi terhadap demokrasi bagi masyarakat Yunani dan lebih mengidealkan ‘filsuf raja’ sebagai seorang kepala Negara yang layak memimpin.

Kesangsian Sokrates dan Plato itu memang haruslah diakui bahwa acapkali dalam sebuah masyarakat yang belum “tercerahkan” dan “terdewasakan” secara rasional dan politis, rentan sekali dimanipulasi secara politik dan secara sosial oleh oligarkhi kapitalis elit yang mengatasnamakan demokrasi. Dan hal itu disadari oleh Alexis Tocqueville, demikian papar Raymond Aron.

Rentannya manipulasi, seperti praktik politik uang atau money politics, misalnya, akan terjadi pada masyarakat yang belum baik dari segi pendidikan dan tak memiliki akses informasi yang layak. Masyarakat yang tercerahkan hanya dimungkinkan oleh majunya daya baca dan memiliki kapasitas literer.

Namun ironisnya, di jaman ini, media-media yang semestinya memberikan pencerahan dan pendidikan politik atau civic education, malah ikut juga terjerembab menjadi pion-pion kepentingan oligarkhi kapitalis elit yang acapkali manipulatif. Persis di sinilah pentingnya gerakan masyarakat madani melalui kerja intelektual dan kebudayaan generasi muda.

Haruslah diakui bahwa siapa pun bisa menjadi tiran sebagaimana tirani dalam arti lain juga acapkali dimainkan oleh kekuatan uang (oligarkhi) para elit korporat dan konglomerasi. Pada titik inilah diperlukan masyarakat yang independen dan mawas atau gerakan masyarakat madani (civil society) yang berfungsi sebagai pengawasan sukarela atau institusi-institusi resmi yang bertugas ‘memberantas’ korupsi dan praktik-praktik penyimpangan politik. Dan civil society hanya dimungkinkan dan lahir dari masyarakat atau sekumpulan warga Negara yang tercerahkan.

Upaya pencerahan masyarakat dan pendidikan politik atau pun civic education ini dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok yang tergerak untuk memajukan kehidupan sosial-politik demi menghindari manipulasi oleh partai-partai politik, misalnya. Karena, seperti terjadi sebelum-sebelumnya, sejumlah partai tetap mencalonkan koruptor dalam kontestasi politik atau suksesi karena mereka kebetulan memiliki banyak uang.

Demokrasi akan hidup dan berjalan baik dalam masyarakat yang terbuka, demikian bila meminjam filsafat politiknya Karl Raymund Popper, sebuah masyarakat yang represi dan manipulasi tidak hadir. Dengan landasan dan wawasan tersebut, demokrasi yang baik dan sehat meniscayakan adanya masyarakat yang tercerahkan dan hadirnya lembaga-lembaga kontrol, sebab seperti dinyatakan Lord Acton yang sudah terkenal itu: “Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang besar akan cenderung memiliki korupsi yang besar pula.”

Dalam hal demikian, pencerahan dan pendidikan politik atau civic education yang digerakkan dan dipraktikkan oleh masyarakat madani menjadi penting karena akan meminimalisir manipulasi politik dan praktik-praktik korupsi yang lahir dan muncul dari sahwat-sahwat politik. Demikian pula, semisal filsuf seperti Hannah Arendt dan Jurgen Habermas pun menekankan bahwa demokrasi yang baik dan maju hanya dimungkinkan dalam sebuah lingkungan dan masyarakat yang tercerahkan dan hidup budaya civil society-nya, hadirnya lembaga kontrol yang independen, media yang jujur dan objektif, hingga apa yang pernah dinyatakan Raymond Aron dalam salah-satu ceramahnya di California University pada tahun 1963 itu masih relevan untuk saat ini:”Demokrasi adalah juga suatu keadaan masyarakat, bukan semata bentuk pemerintahan atau rezim politik”.