Karikatur untuk Palestina


Oleh Sulaiman Djaya (Pembaca Khazanah Pemikiran & Kebudayaan) –  https://liputan9.id/karikatur-untuk-palestina/

Saya selalu kagum kepada pekerja seni dan pegiat budaya yang masih mengkontekskan karya-karya mereka pada kenyataan keseharian kehidupan manusiawi. Menghasilkan karya-karya yang tidak tercerabut dari realitas, merefleksikan kehidupan melalui estetika. Termasuk dalam seni visual, para seniman visual dan para perupa yang bergelut dengan diri mereka sendiri dan kehidupan kesekitaran mereka yang melatih dan mengasah kepekaan mereka. Bahwa seni adalah juga refleksi dan tanggapan atas situasi dan keadaan. Laku yang dulu dan saat ini dimuliakan mereka yang berpandangan dan berkeyakinan bahwa seni tak hanya semata untuk seni, tapi juga untuk kehidupan kesekitaran kita. Tidak menabukan diri untuk merefleksikan keprihatinan sosial-politik lewat seni.

Kekaguman saya, dalam konteks ini, kepada para seniman karikatur di era digital dan IT kita saat ini, ketika mereka kehilangan ruang-ruang di media cetak, yang ruang-ruang untuk karikatur di media-media cetak, semisal koran dan majalah (yang masih eksis dari era 1980an-2000an) silam itu tapi kemudian redup dan hilang, membuat para seniman visual (semisal para seniman karikatur) mengalihkan diri ke ruang-ruang mayantara (ruang-ruang digital), yang acapkali diriuhkan kedangkalan atau banalitas hingga kepalsuan dan maraknya penjiplakan. Sebab, saat ini, hingga karya seni dan kerja estetik sekalipun bisa menggunakan aplikasi yang disediakan pasar aplikasi digital.

Merenungi puluhan karya-karya visual (sketsa, karikatur, gambar) karya Indra Kusumah dalam antologi karikatur bertajuk Gaza, semakin menegaskan bahwa seni perlu terlibat dan menyuarakan nurani kemanusiaan tanpa batas –melampaui batas dan sekat geografis dan geopolitik. Memihak dengan gamblang kepada Palestina yang menjadi korban keserakahan korporasi dan unipolarisme politik Barat yang digerakkan oleh motif imperialisme mutakhir zaman kita. Para seniman di berbagai belahan dunia lain pun melakukan hal yang sama, dari ragam gagrak seni. Dari para bintang papan atas dunia hiburan dan industri budaya hingga kritikus seni dan budaya, sama-sama sepakat bahwa terkait luka dan nestapa Gaza, Palestina adalah juga luka dan nestapa kemanusiaan kita.

Dalam konteks itu, seni visual karikatur dan kartun adalah kritik dan perlawanan yang mempraktikkan modus satir dan ironi, acapkali dibumbui humor, demi memunculkan kepekaan reseptif dan kemudian melahirkan keberpihakan dari para penyimak dan penikmatnya kepada isi dan isu yang diangkat dan dikandung, disampaikan oleh karikatur itu sendiri. Yang lainnya berpendapat bahwa karikatur atau pun kartun merupakan seni visual yang sengaja mengarahkan diri sebagai sebuah seni visual yang lucu yang sarat komedi dan parodi.

Tentu saja, humor, sindiran atau satir, komedi dan parodi yang disampaikan atau dikomunikasikan lewat karya-karya seni visual sudah dengan sendirinya terkait dengan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan keseharian kita, dalam sejarah kita, yang dirasa tidak baik, merusak, dan perlu dikritik atau dilawan. Inilah modus kritik dan perlawanan para seniman, yang dalam konteks para seniman visual tentu saja melalui karya-karya seni visual mereka, seperti karikatur. Yang dikritik dan dilawan bisa apa saja, yang dirasa tidak baik dan merusak kemanusiaan kita: praktik politik, keserakahan, kecurangan ekonomi, penindasan, pembunuhan keji dan lain sebagainya, seperti genosida yang menimpa Gaza, Palestina oleh Israel yang didukung Barat, yang menyentak nurani kita, sebab hukum dan lembaga internasional seperti PBB, ternyata juga tidak berdaya mencegah praktik genosida tersebut. Bagi siapa pun yang berminat mengapresiasi karya-karya seni visual yang mengangkat isu kemanusiaan kita saat ini, seperti genosida yang menimpa Gaza oleh Israel yang didukung Barat, akan bertambah kepekaan manusiawinya. Kepekaan dan solidaritas yang berabad-abad silam disuarakan Sa’di dari Persia lewat puisinya (yang kini disematkan di Gedung PBB) itu: “Anak adam satu raga, satu jiwa. Bermula dari asal yang sama. Sesiapa tak merasakan nestapa sesama, tak layak menyandang nama manusia.”