Opini Koran Kabar Banten 29 Desember 2023


Pentingnya Imajinasi

Oleh: Sulaiman Djaya (Pekerja Budaya)

Telah terbukti dalam sejarah peradaban manusia, imajinasi melahirkan inovasi dan menggerakkan kerja intelektual dan kebudayaan.

Dalam Fisika Star Trek-nya, Lawrence M. Krauss menulis: “Ilmu fisika maju bukan karena revolusi yang segala-segalanya serba baru, tetapi lebih bersifat evolusi yang memanfaatkan hal-hal terbaik yang sudah diketahui sebelumnya”.

Tentu saja yang ditulis Krauss tersebut tentang kesinambungan sains modern saat ini setelah sains Barat bercerai dengan dogma gereja –yang menurut para fisikawan dan ilmuwan kala itu lebih mirip dengan takhayul. Sebab, haruslah diakui, pernah ada suatu jaman di Barat sana (Eropa), yang lazim dikenal sebagai Era Kegelapan atau Jaman Inkuisisi, di mana para filsuf dan ilmuwan yang kebetulan meragukan dogma gereja, dapat dikatakan telah membangun fondasi yang terbilang cukup revolusioner untuk ukuran jaman atau untuk kadar era itu, yang akhirnya membuka cahaya gerbang baru bagi sains modern.

Dengan kata lain, selain karena evolusi yang berkelanjutan, sains khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya, dalam beberapa kasus, melakukan terobosan-terobosan yang revolusioner dalam mendobrak (ibarat berfilsafat dengan palu godam-nya Nietzsche) dogma dan paradigma lama yang menjadi rahim gelap kejumudan. Di sini, mereka melakukan pemberontakan paradigmatis untuk membuka kemungkinan dan kesempatan bagi lahirnya sains dan ilmu pengetahuan modern dari penjara dan ancaman politis dan dogmatis yang akan menghambat kemajuan sains dan ilmu pengetahuan.

Apa yang kita sebut dengan paradigma ini memang sebentuk lanskap epistemologis dan khazanah “kepercayaan” yang menjadi rahim bagi kerja dan ikhtiar saintifik, yang pada akhirnya juga menentukan apa saja yang akan ditemukan dan dihasilkan sains. Bayangkan, jika para filsuf dan ilmuwan tidak melakukan pemberontakan terhadap dogma gereja kala itu, barangkali perkembangan sains modern agak sedikit terlambat.

Soal dogma gereja yang dilawan para filsuf dan ilmuwan ini, Bertrand Russell bahkan menyatakan bahwa sejarah awal menunjukkan, bukan hanya bahwa Genesis itu a-historis, tetapi juga sebagian besar diambil atau diadopsi dari mitos-mitos Babilonia yang sebenarnya sudah basi.

Dulu, sebagai contohnya, tak ada satu pun fisikawan yang tahu dan mempercayai bahwa jagat raya berkembang dan mengembang, di mana para fisikawan dan ilmuwan umumnya masih mempercayai bahwa jagat-raya bersifat statis dan tak berubah dalam skala besar. Namun, kemudian, seorang Albert Einstein sadar bahwa jagat-raya tidak statis.

Sebelumnya, ketika Einstein masih percaya bahwa jagat-raya bersifat statis, ia mencari jalan untuk “menghentikan” proses keruntuhan semua materi jagat-raya karena gravitasinya sendiri. Saat itu Einstein mengembangkan satu terminologi yang ia sebut “Tetapan Kosmologis” –yang memperkenalkan tolakan kosmik untuk mengimbangi daya-tarik gravitasi materi pada skala besar. Akan tetapi, setelah ia tahu jagat-raya mengembang alias tidak statis, ia pun segera mengakui bahwa “Tetapan Kosmologis-nya“ itu merupakan ketololannya yang paling besar.

Salah-satu faktor, yang ternyata adalah juga faktor yang sangat kuat, bagi kesadaran Barat (Eropa) di Era Inkuisisi itu adalah terdistribusinya sains dan ilmu pengetahuan dari dunia Islam –dari para filsuf dan ilmuwan muslim. Bahkan ketika Maimonedes, sang filsuf dan ilmuwan Yahudi itu, diusir oleh Eropa dari Eropa, ia justru ditampung oleh Dunia Islam. Hanya saja, setelah Eropa berhasil menyalakan cahaya sainsnya dengan terang benderang, cahaya sains di Dunia Islam malah redup, bahkan padam.

Sebagaimana kebudayaan dan kesusastraan, eksistensi dan kemajuan sains khususnya dan ilmu pengetahuan umumnya, merupakan hasil interaksi historis, kultural, bahkan politis. Para sejarahwan, arkeolog, dan para sarjana lainnya membuktikan hal itu. Capaian kemajuan arsitektur dan sains Mesir, contohnya, dipelajari oleh Yunani dan kemudian membuat Yunani sanggup membangun mahakarya peradabannya di benua Eropa, ketika mereka belajar dari Mesir dan Babilonia, ketika mereka mengirimkan para sejarawan dan filsuf mereka ke negeri-negeri itu.

Dan saat ini, kemajuan sains khususnya dan ilmu pengetahuan umumnya, berjalan bersamaan dan beriringan dengan motif dan kepentingan industrialisasi kapitalisme dan perlombaan tekno-sains alias tekhnologi informasi, tak terkecuali perlombaan untuk meraih kemajuan tekhnologi persenjataan perang dan industri serta infrastruktur pertahanan.

Kini manusia telah sanggup menjelajahi tempat-tempat tertentu di angkasa, semisal di Bulan, mencipta bom hidrogen, rudal pintar, komunikasi langsung yang sifatnya global, kloning, nano-technology, mesin penerjemah ragam bahasa, dan lain sebagainya. Bukan tak mungkin manusia di masa depan bisa membangun rumah-rumah mengambang di udara demi mengatasi perkembangan kepadatan penduduk dan keterbatasan lahan bagi hunian, dan bersamaan dengannya, bisa menciptakan transportasi yang lalu-lalang di udara tersebut.

Contoh-contoh itu hanya ingin menyatakan bahwa hasil dari imajinasi dan kecerdasan manusiawi telah memberikan bahan dan dasar-dasar bagi kemajuan imajinasi dan kecerdasan selanjutnya –alias bagi kemajuan sains dan ilmu pengetahuan di masa depan.

Seperti telah kita ketahui, tahun sebelum masehi, bangsa Sumeria-Babilonia dan Mesir memiliki ilmu astronominya sendiri untuk mamahami alam semesta atau jagat-raya –sedangkan bangsa Yunani mengandalkan logika, dan salah-seorang dari filsuf Yunani yang pernah berkunjung ke Mesir, yaitu Pythagoras, mengikuti jejak-jejak bangsa Timur tersebut, yaitu menggunakan geometri dan matematika ketika berusaha menjelaskan alam semesta atau jagat-raya.

Capaian yang dapat dikatakan sebagai babakan revolusioner dalam sejarah sains adalah ketika Galileo Galilei menemukan alias menciptakan teleskop, meskipun kita tahu tidak secanggih teleskop di jaman ini. Namun setidak-tidaknya alat tersebut tentu saja sangat penting dalam kerja sains di abad-abad selanjutnya –yang tak lain sebagai instrument observasi langsung alias pengamatan empiris.

Di abad-abad selanjutnya, wabil-khusus di abad-20, Albert Einstein menyatakan teori tentang kekekalan energi, energi kuantum, dan partikel sub-atom, yang tak diragukan lagi, menjadi dasar bagi perkembangan astronomi, yang tak lagi berkutat pada penelitian semesta di sekitaran gugusan tata-surya (matahari dan planet-planet yang mengitarinya) semata, tapi mencoba mengetahui ke arah yang lebih jauh.

Kita tahu, sejak penemuan Efek Doppler dalam gelombang cahaya dari berbagai benda angkasa, sejak itulah diketahui bahwa alam semesta alias jagat-raya berkembang (meluas) dan bahwa nebula di dalamnya bergerak saling menjauhi dengan kecepatan yang menakjubkan –dan makin jauh jarak mereka, makin tinggi pula kecepatannya.

Penemuan-penemuan itu pun menimbulkan atau memunculkan sejumlah pertanyaan atawa kuriositas baru di kalangan ilmuwan umumnya dan fisikawan khususnya. Misalnya, apakah alam semesta atau jagat-raya tak memiliki batas? Dan jika alam semesta atau jagat-raya terus meluas alias berkembang, apakah akan meluas begitu saja tanpa henti atau tanpa akhir? Dan bila saja ada awal kapan alam semesta mulai berkembang?

Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, George Gamov dan kawan-kawan berpandangan bahwa alam semesta atau jagat-raya mulai berkembang atau meluas kira-kira dua milyar tahun lalu, yaitu ketika masih dalam keadaan aslinya, dan meskipun jagat-raya itu sendiri sudah teramat sangat luas yang tak bisa diukur oleh kita.

Dalam hal ini, ada pernyataan yang cukup enigmatik dan menggoda, yang dilontarkan seorang matematikawan bernama Herman Minkowski (sebagaimana dikutip Lawrence M Krauss dalam Fisika Star Trek-nya): “Suatu saat ruang-waktu akan semakin pudar menjadi bayangan belaka, dan hanya ada semacam ikatan antara keduanya yang bisa memelihara realitas yang independen”.

Pernyataan Herman Minkowski, sang matematikawan itu, dilontarkan di tahun 1908 –di mana di tahun itu pula Albert Einstein menemukan Relativitas Ruang-Waktu, suatu temuan yang murni mengandalkan imajinasi, bukan observasi. Dan saya pun pernah bertanya (meski hanya di dalam hati): mungkinkah alam semesta atau jagat-raya di suatu saat, entah kapan itu, akan kelelahan dan menghancurkan dirinya sendiri?

ESAI Kritik Sastra Mastra Kandaga Edisi XXIII Desember 2023


Puitika Puisi Taufiq Ismail

Oleh: Sulaiman Djaya*

Bila tiba pelaksanaan FLS2N untuk sekolah menengah tingkat kab/kota di Banten, saya acapkali diminta menjadi juri lomba baca puisi. Biasanya diantara puisi-puisi para penyair Indonesia yang harus dibaca para peserta salah-satunya adalah puisi berjudul Sebuah Jaket Berlumur Darah karya Taufiq Ismail (Lihat Taufiq Ismail, Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda 1993, h. 67). Saya tidak tahu alasan panitia dan kurator nasional memilih puisi tersebut, karena bagi saya puisi tersebut bukanlah satu-satunya puisi Taufiq Ismail yang terbaik dan terindah, sebab ada sejumlah puisi Taufiq Ismail yang juga layak untuk dikenal publik luas yang tidak kalah artistik dan  tidak kalah indah secara bentuk dan gaya bahasa, semisal yang berjudul Bunga Alang-Alang, Adakah Suara Cemara dan Turun Malam (Lihat Taufiq Ismail, Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya 1975, h. 22-23, 26 dan 9). 

Hal demikian tak lain karena sebuah puisi yang baik dan bagus pertama-tama mestilah dinilai dari sudut bentuk dan keindahan bahasa tuturnya, bukan karena tema atau pesannya semata (yang mungkin karena tema dan pesannya mudah ditebak dan diterka dari judul dan dari puisinya selain mengingat Taufiq Ismail bersama Rendra dikenal sebagai penyair yang cukup sering menulis dan membacakan puisi-puisi yang bernada dan bertema protes sosial-politik), di mana lazimnya bahasa sastra, terutama puisi, memang berbeda dengan praktik tutur bahasa lainnya, seperti dengan pakem bahasa berita. Dan sastra memang disebut sebagai sastra karena kekhususan dan kekhasan mempraktikkan dan memperlakukan bahasa menjadi seni, bukan sekedar fungsi komunikasi, yang menjadikan sastra memang berbeda dengan disiplin non-sastra.

Shlomith Rimmon-Kenan, misalnya, menyebut genre bahasa sastra sebagai fiksi naratif, dan yang ia maksud sebagai fiksi naratif itu tak lain: the narration of succession of fictional events. (Shlomith Rimmon-Kenan, Narrative Fiction Contemporary Poetics, Routledge 1983, h. 2). Sebagai entitas kearifan dan kecerdasan naratif untuk membangun dan menciptakan struktur wacana yang berwujud karya seni, sastra tentulah memiliki metode dan gaya tersendiri dalam penyampaiannya. Dalam praktik pengajaran dan pengenalan kepada para siswa di sekolah, sebagai contohnya, penyampaian materi dan wacana sastra dilakukan dengan menghadirkan contoh-contoh karya terbaik sastra itu sendiri, termasuk di dalamnya ketika kita hendak mengajarkan keindahan bentuk karya seni yang menggunakan medium kecakapan dan kecanggihan puncak berbahasa, yaitu puisi. Begitu juga sastra sebagai seni yang media dan bahan materialnya adalah bahasa tentu saja mensyaratkan dan sekaligus meniscayakan mengandung nilai-nilai estetik atau artistik yang memungkinkannya menjadi indah dan menghibur bagi pembacanya ketika hendak mengkomunikasikan pelajaran dan kearifan yang termuat dan terkandung di dalamnya. Memiliki kandungan dulce dan utile (menghibur dan mendidik) sekaligus menjalankan fungsi katarsis.

Sementara itu, di sisi lain, sehubungan dengan kajian atau disiplin kritik sastra sebagai sebuah bidang tersendiri pula, sebagai contoh pendapat pakar, Mario Klarer menyatakan: “kritik sastra, seperti biologi, menggunakan konsep evolusi atau perkembangan dan kriteria klasifikasi untuk membedakan berbagai genre. Wilayah yang pertama disebut sebagai sejarah sastra, sedangkan yang terakhir disebut puitika. Kedua bidang tersebut berkaitan erat dengan masalah yang dihadapi, karena setiap upaya untuk mendefinisikan teks atau sastra tidak hanya menyentuh perbedaan antara genre tetapi juga pada dimensi historis dari ekspresi sastra ini. Istilah genre sendiri biasanya mengacu pada salah satu dari tiga bentuk sastra klasik: yaitu epik, drama, atau puisi. Kategorisasi ini sedikit membingungkan karena epik juga muncul dalam syair, tetapi tidak diklasifikasikan sebagai puisi. Sebenarnya, ini adalah pendahulu dari novel modern (yaitu, fiksi prosa) karena fitur strukturalnya seperti plot, penyajian karakter, dan perspektif naratifnya. Meskipun klasifikasi lama ini masih digunakan, kecenderungan saat ini adalah untuk meninggalkan istilah epik dan memperkenalkan istilah prosa, fiksi atau prosa fiksi untuk bentuk sastra novel dan cerita pendek yang relatif muda dan masih baru. (Mario Klarer, An Introduction to Literary Studies, Routledge 1999: 3-4).

Selain itu, kata kunci lain dalam soal sastra dan bahasa adalah wacana atau diskursus, yang dalam hal ini Mario Klarer mengemukakan: Istilah kunci yang lainnya dalam risalah teoretis tentang fenomena sastra adalah wacana. Seperti jenis teks, istilah itu digunakan sebagai istilah untuk segala jenis ekspresi linguistik yang dapat diklasifikasikan. Dan istilah ini telah menjadi denotasi yang berguna untuk berbagai konvensi linguistik yang mengacu pada bidang konten dan tema; misalnya, seseorang dapat berbicara tentang wacana laki-laki atau perempuan, politik, seksual, ekonomi, filsafat dan sejarah. Klasifikasi bentuk ekspresi linguistik ini didasarkan pada tingkat isi, kosakata, sintaksis, serta elemen gaya dan retorika. Sedangkan istilah jenis teks mengacu pada dokumen tertulis, wacana yang mencakup ekspresi tertulis dan ekspresi lisan. (Mario Klarer 1999: 4).

Yang lainnya terkait praktik naratif dan diantara studi narasi disebut naratologi, yang menurut Mark Currie dalam Transitions Postmodern Narrative Theory (Macmillan Press 1998: 1): is the theory and systematic study of narrative. Sedangkan nilai-nilai dan kandungan-kandungan estetik atau artistik dimungkinkan karena bentuk dan struktur bahasa sastra berbeda dengan yang bukan sastra. Kaum formalis (Michael Ryan, Teori Sastra Sebuah Pengantar Praktis [penerj. Bethari Anissa Ismayasari], Jalasutra 2007: 2-3), sebagai contoh, menyatakan bahwa sastra menjadi sastra karena struktur dan bentuknya yang menjadikannya sebagai unik atau khas bersifat sastra, bukan karena isinya semata. Terry Eagleton (Terry Eagleton, Teori Kesusasteraan Satu Pengenalan [penerj. Muhammad Hj. Saleh], Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia Kuala Lumpur 1988, h. 2) mengemukakan bahwa kesusastraan bukan karena sifatnya yang semata imajinatif dan karya fiktif, melainkan karena penggunaan bahasa dan bagaimana mengolah serta memperlakukan bahasa secara unik dan khusus. Apa yang Eagleton nyatakan itu karena tidak semua karya imajinatif dan fiksi disebut sebagai karya sastra, seperti komik, kartun, manga dan yang sejenis lainnya.

Demikian, bila kita baca secara struktural (dengan metode kaum strukturalis), dari segi pengungkapan dan penggambarannya, kedalaman pencitraan dan penggambaran puisi berjudul Bunga Alang-Alang, sebagai contoh, telah menghadirkan pengalaman segar dan baru berbahasa dan ungkapan keindahan, keberhasilan metafora sekaligus puitika, di mana puisi itu pada saat yang sama mencerminkan keberhasilan kreatif yang lahir dari tegangan antara konvensi dan inovasi, selain menghadirkan keindahan bunyi yang berdampak pada kesenangan musikalitas sebagai efek dan dampak dari pilihan kata (diksi) dalam puisi itu:  

Bunga alang-alang

Di tebing kemarau

Menggelombang //

Mengantar

Bisik cemara

Dalam getar //

Di jalan setapak

Engkau berjalan

Sendiri //

Ketika pepohon damar

Menjajari bintang pagi //

Sesudah topan

Membarut warna jingga //

Dan seribu kalong

Bergayut

Di puncak randu //

Di bawah bungur

Kaupungut

Bunga rindu //

Sementara awan

Menyapu-nyapu

Flamboyan //

Kemarau pun

Berangkat

Dengan kaki tergesa //

Dalam angin

Yang menerbangkan

Serbuk bunga.

(1963)

Puisi tersebut mengandung sejumlah pencitraan yang adalah juga metafora yang kuat dan indah, seperti: tebing kemarau, bisik cemara, dan bunga rindu, yang mengkonstruksi makna dan kesubtilan ungkapan bahasa. Kata tebing tentulah sebuah benda dan bentuk alam yang sinonim dengan lereng dan kata kemarau adalah nama dan kondisi cuaca atau musim. Tetapi ketika dua kata itu digabung menjadi “tebing kemarau” maka seketika arti denotatif keduanya berubah menjadi makna metaforis: sebuah perasaan dan pengalaman yang terasa kuat dialami tentang kesulitan dan kesukaran, atau pengalaman negatif dalam hidup manusia. Ungkapan ‘di tebing kemarau’ dalam puisi itu, meski merujuk pada makna referensial alang-alang yang tumbuh di tebing, sesungguhnya adalah metafora dan pencitraan tentang nestapa yang digambarkan sebagai kesunyian yang indah dan akrab: Bunga alang-alang di tebing kemarau, menggelombang. Begitu juga kata ‘bisik’ dan kata ‘cemara’ memiliki makna rujukan (makna referensial) dan makna denotatifnya masing-masing, tapi ketika menjadi ‘bisik cemara’ maka yang lahir adalah makna metaforis ‘alam yang berbisik’, ‘alam yang menyapa kita dengan akrab dan intim’ atau ‘cemara yang berbisik layaknya manusia yang berkomunikasi kepada sesamanya dengan berbisik secara samar dan pelan. Dan selanjutnya, yaitu: ‘bunga rindu’ adalah penggambaran tentang rindu dan kerinduan yang tumbuh dan berbunga atau rindu yang berbunga –rindu yang menghadirkan keindahan layaknya keindahan bunga bagi pandangan mata, seperti ketika kita menjumpa kembali kekasih yang lama berpisah dengan kita, dan begitu pula kampung halaman atau tanah kelahiran kreatif penyair yang dijumpa kembali setelah sekian lama ditinggalkan. Frase ‘bunga rindu’ itu merupakan contoh metafora dan penggambaran yang dihasilkan dari penggabungan dua kata yang sesungguhnya memiliki makna rujukan (makna referensial) dan makna denotatif yang berbeda: bunga dan rindu, dari dua jenis dan bentuk kata yang berbeda pula: kata benda dan kata sifat.

Puisi Bunga Alang-Alang adalah contoh karya seni meditatif yang mengajak kita untuk mengambil pelajaran dan kearifan, perumpamaan dari alam dan hidup itu sendiri, dari semesta di mana kita tinggal dan berada. Puisi itu menggenapi konvensi sastra bahwa puisi adalah karya seni yang keberhasilannya dinilai tak semata dari pesan yang disampaikan, tapi dari bentuk dan pengolahan atau pengukiran bahasa menjadi karya seni yang indah sekaligus menghibur sehingga menimbulkan keindahan yang menyenangkan dan menggembirakan kepada pembaca sekaligus mengkomunikasikan kearifan dan renungan mendalam tanpa pembaca diminta mengerutkan jidat karena efek keindahan yang ditimbulkannya membuat pembaca bisa berpikir dan merenung sembari merasakan kesenangan mengakrabinya karena kelembutan rasa yang dilahirkannya sebab keindahan perumpamaan dan bahasa.

Kepadatan puisi itu telah menegaskan konvensi dan tradisi bersama puitika bahwa puisi adalah karya seni yang tercipta dari bahasa yang mengatakan lebih intensif dan lebih banyak daripada oleh bahasa harian yang hanya satu arti dan pengertian dan tidak menimbulkan mataair-mataair pemaknaan yang baru dan universal justru karena puisi mempraktikkan bahasa sebagai metafora atau perumpamaan, bukan sebagai alat komunikasi praktis dan pragmatis, yang pada akhirnya malah puisi lebih informatif dan bahkan lebih saintifik justru karena telah menyediakan dirinya bagi inspirasi hidup dan pengetahuan.

Sebelumnya para peneliti dan pengulas puisi-puisi Taufiq Ismail kebanyakan lebih cenderung untuk mengupas puisi-puisi protes dan kritik sosialnya karena lebih tergerak untuk menyingkap pesan dan aspirasi sosial politik penyairnya ketimbang melihat dan mencermati struktur dan susunan gaya penuturan dan bentuk puisi-puisinya, yang menyebabkan puisi-puisinya yang meditatif dan justru lebih dalam dan indah malah kurang menjadi perhatian, sehingga sebagai contoh, yang selalu disertakan sebagai puisi wajib untuk dibaca dalam lomba seni dan sastra di sekolah, adalah puisi protes dan kritik sosialnya yang berjudul: Sebuah Jaket Berlumur Darah itu, yang mungkin puisi itu dipilih karena dirasa memiliki nada dan suara penyemangat dan motivasi positif agar bangsa ini tidak menjadi bangsa pemalas dan bangsa yang tidak memiliki daya cipta, tidak memiliki spirit atau ruh perjuangan. 

Sebagai puncak bahasa dan sekaligus puncak berbahasa, puisi memang praktik berbahasa demi menemukan bahasa dan ungkapan yang segar, baru dan tidak aus –menjadikan kita asing pada yang umum, yang karenanya justru kita diajak kembali berpikir dan merenung, mempertanyakan kembali apa-apa yang memang telah kehilangan kesegaran makna. Puisi yang telah berhasil menjadi karya seni adalah wujud defamiliarisasi atau mendobrak kebiasaan yang dibentuk oleh cara persepsi rutinitas sehari-hari yang telah menjadikan rasa dan akal kita mandeg dan tumpul: “Di jalan setapak engkau berjalan sendiri, ketika pohon damar menjajari bintang pagi. Kemarau pun berangkat dengan kaki tergesa, dalam angin yang menerbangkan serbuk bunga.” Lirik-lirik itu adalah kepulangan kembali manusia kepada alam dan kepada kehidupan yang polos dan jujur ketika manusia sadar bahwa dunia modern justru telah menjauhkannya dari kejujuran dan ketulusan: segala diukur dengan rasionalitas instrumental yang telah menceburkan manusia ke jurang nihilisme-materialisme dunia modern yang mekanistis dan birokratis dan menjebak manusia menjadi mesin yang menyebabkannya justru mengalami keterasingan lantaran kekeringan ruhaniah dan kemarau batin yang menghunjam jiwanya.

Secara tipologis, Bunga Alang-Alang-nya Taufiq Ismail adalah gabungan puisi lirik dan puisi naratif, yang mengingatkan kita pada sejumlah puisinya Robert Frost yang juga mengambil setting peristiwa dan penulisannya di pedesaan, hutan dan pegunungan. Dikatakan puisi naratif, karena puisi itu memiliki alur cerita di sebuah tempat (alam pedesaan) yang tokohnya adalah si petani yang mengalami nestapa yang diceritakan puisi tersebut serta penulisnya atau penyairnya sendiri yang dikisahkan secara tersirat sebagai subjek yang melakukan renungan diri. Dikatakan puisi lirik, karena bait-baitnya diungkapkan secara liris dan syahdu dalam alur naratif yang bercerita: “Bunga alang-alang (tokoh benda) di tebing kemarau (tempat metaforis dan tempat referensial) menggelombang (gambaran keadaan dan suasana). Mengantar bisik cemara dalam getar (persepsi dan penangkapan batin penyair sebagai tokoh lirik ketika merasa akrab dan intim dengan alam, seperti ketika seseorang jatuh cinta kepada seseorang). Di jalan setapak engkau berjalan sendiri (gambaran yang dikerjakan dan dilakukan tokoh lirik yang diceritakan puisi yang tak lain yang menanam jagung ketika mengalami nestapa karena gagal panen akibat serangan hama sekaligus penyairnya sendiri ketika menziarahi tanah kelahiran alam semestanya).

Puisi Taufiq Ismail selanjutnya yang senafas dan sealur-bentuk dengan Bunga Alang-Alang adalah puisi kwatrinnya yang berjudul ‘Adakah Suara Cemara’ yang juga reflektif dan mengandung ajakan untuk mendekatkan diri kita kepada alam dan semesta sebagai amsal hidup:

Adakah suara cemara

Mendesing menderu padamu

Adakah melintas sepintas

Gemersik daunan lepas //

Deretan bukit-bukit biru

Menyeru lagu itu

Gugusan mega

Ialah hiasan kencana //

Adakah suara cemara

Mendesing menderu padamu

Adakah lautan ladang jagung

Mengombakkan suara itu.

Dalam puisi itu, alam digambarkan akrab menyapa dan berbincang, sebagai berkah sekaligus petaka, semisal gagal panen dan serangan hama yang menimpa tanaman-tanaman yang kita tanam hingga membuahkan nestapa, yang dalam konteks dan maksud puisi itu adalah kebun atau ladang jagung, seperti yang dikiaskan puisi sebelumnya, yaitu Bunga Alang-Alang. Puisi itu menggambarkan rasa duka: “Adakah lautan ladang jagung mengombakkan suara itu…..Adakah suara cemara mendesing menderu padamu,” ketika bencana semisal hama digambarkan sebagai teguran alam kepada manusia. Dalam kondisi apakah suara cemara mendesing menderu? Dalam gempuran angin dan kemarau cuaca.

Meskipun demikian, penting untuk tidak kita lupakan di saat kita mengafirmasi dan menggunakan metode pembacaan strukturalis, puisi lahir karena ada penyair, bukan karya tanpa pengarang dan penyair yang menuliskannya hidup dalam konteks dan situasi, dalam dunia dan keadaan. Dalam hal ini, puisi memiliki dua fenomena yang sama-sama penting untuk diperhatikan ketika kita meneliti dan membacanya: fenomena intrinsik (realitas inheren dalam struktur puisi itu sendiri sebagai sebuah teks) dan fenomena ekstrinsik (realitas di luar teks yang merupakan muatan eksternal yang mencakup aspek-aspek manusia dan kehidupannya, termasuk si penyair itu sendiri sebagai penulis puisi, yang mana aspek-aspek tersebutlah yang menjadi materi cerita atau tema puisi, yang tanpa materi itu, tentulah sebuah puisi menjadi tidak bermakna. Sebabnya adalah dalam konteks puitika atau kajian sastra, telah dipahami bahwa karya sastra termasuk puisi tentulah memiliki semestanya atau kesemestaan kesusastraannya.

Dari segi proses kreatif penyair atau penulis puisi, mayoritas karya-karya Taufiq Ismail yang populer ditulis di masa-masa orde lama Bung Karno yang diprotestnya dan orde baru Soeharto yang semula ia dukung namun juga mengecewakannya, seperti yang terkumpul dalam Sajak Ladang Jagung (Pustaka Jaya 1975) dan Tirani dan Benteng (Yayasan Ananda 1993). Dua orde tersebut, sebagaimana tercatat dalam rekaman audio-visual dan dokumentasi ragam publikasi cetak, memang acapkali mempraktikkan kebijakan politik yang tidak demokratis bahkan tak jarang berpolah tiranis, yang menyebabkan kondisi dan situasi negatif bagi banyak warga Negara, situasi dan kondisi yang kemudian dikritisi dan disuarakan oleh banyak puisi-puisinya Taufiq Ismail.

Adapun digunakannya metode strukturalis untuk membaca dan memahami tiga puisi Taufiq Ismail dalam tulisan ini tidak lain dalam rangka mendapatkan kefokusan dan ketepatan penelitian dan pembacaan, di mana pendekatan atau metode strukturalis memberikan perhatian pada eksplorasi fenomena struktur yang mencakup unsur-unsur pembangun puisi seperti diksi, gaya bahasa, pencitraan, bentuk puisi serta sikap penyair itu sendiri ketika kita menganalisis puisi. Michael Ryan, sebagai contoh, menyatakan: “Pendekatan strukturalis terhadap sastra memperlakukan kata sebagai tanda. Tanda biasanya bermakna karena mereka bersinggungan dengan kode-kode yang memiliki makna tertentu pada kata tertentu.” (Michael Ryan, Teori Sastra Sebuah Pengantar Praktis [penerj. Bethari Anissa Ismayasari], Jalasutra 2007, h. 56).

Sudah lazim diterima oleh kita dan sudah pula menjadi konvensi sastra, bahwa diantara yang membuat atau menjadikan puisi menjelma karya seni yang indah adalah karena diksi atau pilihan kata yang membentuk dan membangun keseluruhan struktur puisi. Tentang diksi ini, sebagai contoh, Gorys Keraf mengemukakan: “Pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu. Istilah ini bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai-nilai artistik yang tinggi.” (Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Gramedia Januari 2015, h. 22-23).

Dalam puisi, diksi tentu saja akan memungkinkan pembangunan dan penciptaan kiasan atau metafora, kecakapan penyair mengawinkan atau menggabungkan pilihan kata-pilihan kata tertentu, semisal menjadi frase, yang melahirkan dan menciptakan kiasan atau pencitraan (penggambaran), seperti frase: tebing kemarau, bisik cemara, dan bunga rindu dalam puisi Bunga Alang-Alang Taufiq Ismail itu. Dan masih tentang diksi ini, Gorys Keraf mengemukakan tiga kesimpulan mengenai diksi. Pertama, pilihan kata atau diksi mencakup kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa. (Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Gramedia Januari 2015, h.24).

Dalam karangka tersebut, sebagaimana diurai Aminuddin, fokus kajian diksi adalah pada: [1] Hubungan asosiatif kata yang satu dengan yang lain dalam satuan teks, [2] Hubungan asosiatif kata dengan dunia acuan maupun dengan gagasan yang ingin disampaikan penuturnya, [3] Status kata sebagai unsur pembentuk wacana, dan [4] Efek emotif pemilihan kata ataupun kata-kata bagi penanggapnya. (Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra, IKIP Semarang Press, h. xi). Sesuai dengan panduan metodologis tersebut, puisi Taufiq Ismail selanjutnya yang berbeda isu dan latar dalam konteks tulisan ini adalah yang berjudul Turun Malam, meski masih dalam nuansa dan gaya pastoral yang sama dengan dua puisi sebelumnya yang berjudul Bunga Alang-Alang dan Adakah Suara Cemara: 

“Sebuah lembah di depan, sungai menggeliat di perutnya. Di tepi hutan pinus sejenak kita istirah. Ialah biru yang sepotong, awan menggumpal berkejaran. Gunung benteng terakhir mendukung senja. // Matahari terbakar dalam api yang sepi. Garis-garis angin mengucapkan selamat malam. Ke tengah kami tiga regu infanteri. Dalam derap hening akan memasuki lembah. // Ada bintang mulai kemerlap membisik cahaya. Sebuah kota di bawah deru kabut yang jauh. Gunung-gunung bergetar panji malam semakin jelaga. Mengibarkan tangan angin pada dahanan meluruh. // Seseorang pelahan menyanyikan lagu republik. Bersandar di cemara, laras senjata menunjuk langit. Memicingkan mata serta bahu memar ngembara. Rimba akasia di pucuk paling biru. // Kutepuk kini pundakmu, bukit benteng setia. Sehabis di punggungmu kami sembahyang dalam doa. Ialah langkah merayap dalam penyergapan. Ketika sebutir bintang gemerlap membisik cahaya.”

Sebuah puisi indah yang seakan sebuah film aksi yang menggambarkan para pejuang gerilya di gunung dan hutan siang dan malam ketika kita membaca secara runut paparan naratifnya, di mana puisi itu pun bila dilihat dari segi tipologi adalah perpaduan atau gabungan puisi naratif dan puisi liris. Dan sekarang marilah kita bedah dan cermati per-paragrafnya dan membaca diksi dan kiasannya sekaligus frase-frase pencitraan dan penggambarannya: “Sebuah lembah di depan, sungai menggeliat di perutnya. Di tepi hutan pinus sejenak kita istirah” menggambarkan situasi dan keadaan alam yang menjadi tempat berlangsungnya kejadian atau fragmen peristiwa historis bangsa kita yang diceritakan puisi. “Gunung benteng terakhir mendukung senja. // Matahari terbakar dalam api yang sepi. Garis-garis angin mengucapkan selamat malam” adalah penggambaran suasana dalam rangka menciptakan efek dramatik puisi dan kisah yang diceritakan puisi. “Ke tengah kami tiga regu infanteri. Dalam derap hening akan memasuki lembah”, menggambarkan bahwa tokohnya bukan satu karena menggunakan kata kami dan apa yang mereka lakukan, sebuah aksi politik, entah itu perjuangan atau perlawanan bersenjata, karena disebut dalam puisi itu para tokohnya adalah sekelompok infenteri. “Ada bintang mulai kemerlap membisik cahaya. Sebuah kota di bawah deru kabut yang jauh. Gunung-gunung bergetar panji malam semakin jelaga. Mengibarkan tangan angin pada dahanan meluruh”, menggambarkan sebuah tempat dan situasi yang telah memasuki waktu berbeda, yaitu mulai datangnya malam, yang juga menjadi judul puisi itu sendiri: Turun Malam.

Selanjutnya, “Seseorang pelahan menyanyikan lagu republik. Bersandar di cemara, laras senjata menunjuk langit. Memicingkan mata serta bahu memar ngembara. Rimba akasia di pucuk paling biru”, bahwa diantara mereka ada yang tiba-tiba menyanyikan lagu kebangsaan dalam keadaan lelah atau letih sembari bersandar di cemara sementara bagian tubuhnya terluka. “Kutepuk kini pundakmu, bukit benteng setia. Sehabis di punggungmu kami sembahyang dalam doa. Ialah langkah merayap dalam penyergapan. Ketika sebutir bintang gemerlap membisik cahaya.” Pundak dalam puisi itu bukan pundak manusia tapi personifikasi tempat, benda dan alam: ‘bukit benteng setia’, ketika hendak menggambarkan bahwa sepasukan kecil infenteri itu telah sampai di tempat sasaran atau tujuan aksi dan operasi mereka. Puisi itu memang puisi naratif yang mengisahkan perjuangan dan kepahlawanan sekelompok orang bagi kemerdekaan dan keberlangsungan sebuah masyarakat atau bangsanya, yang rela menanggung kesulitan dan penderitaan demi masa depan masyarakat dan bangsanya.

Catatan Akhir

Membaca puisi-puisi Taufiq Ismail sesungguhnya adalah membaca kembali sejarah dan riwayat bangsa kita, dalam bentuk fragmen yang dinarasikan puisi, yang dalam konteks tulisan ini, melalui pengalaman keperihan dan nestapa rakyatnya atau warganya, yang disuarakan melalui media sastra, yaitu puisi. Selain dengan puisi-puisinya yang menyuarakan kritik dan protes sosial-politik yang telah banyak dikomentarri dan diulas oleh banyak pembaca dan pengamat di dalam negeri dan luar negeri, tiga puisi dalam tulisan ini adalah contoh suara-suara kisah dan pengalaman yang dialami warga negara justru sebagai bagian dari kisah dan sejarah bangsa mereka.      

Pustaka

Aminuddin, Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra, IKIP Semarang Press.

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Gramedia Januari 2015.

Mario Klarer, An Introduction to Literary Studies, Routledge 1999.

Mark Currie, Transitions Postmodern Narrative Theory, Macmillan Press 1998.

Michael Ryan, Teori Sastra Sebuah Pengantar Praktis [penerj. Bethari Anissa Ismayasari], Jalasutra 2007.

Shlomith Rimmon-Kenan, Narrative Fiction Contemporary Poetics, Routledge 1983.

Taufiq Ismail, Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya 1975.

Taufiq Ismail, Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda 1993.

Terry Eagleton, Teori Kesusasteraan Satu Pengenalan [penerj. Muhammad Hj. Saleh], Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia Kuala Lumpur 1988.

*Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Kandaga Kantor Bahasa Banten, Rakyat Sumbar, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, Banten News, basabasi.co, biem.co, buruan.co, Dakwah NU, Satelit News, simalaba, Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012)), Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi, Yang Tampil Beda Setelah Chairil Anwar – Antologi Puisi Yayasan Hari Puisi Indonesia 2016, Antologi Puisi ‘NUN’ Yayasan Hari Puisi Indonesia 2015, dan lain-lain. Kerapkali menjadi pemateri dan narasumber di forum-forum dan acara-acara kebudayaan, kesusastraan dan keagamaan di Banten dan luar Banten.

Sumber: Majalah Sastra Kandaga Kantor Bahasa Banten Edisi XXIII Desember 2023 Halaman 8-17